Percikan Iman – Beruntunglah mereka yang di dalam hatinya tumbuh subur kerinduan pada baitullah. Hatinya selalu bergetar ketika mendengar kata “baitullah”, Mekkah, Madinah, Ka’bah, menyalakan kerinduan agar dapat menjadi tamu-Nya. Meski raga tak lols persyaratan, meski harta tak “memenuhi” koper, siapa tahu Arsy-Nya turut bergetar seiring bergetarnya hati.
“Setidaknya, siapa tahu, kajian ini memicu getaran (kerinduan) di hati kita, yang kemudian menggetarkan Arsy-Nya, lantas Allah S.W.T. buka-kan pintu menuju rumah-Nya dari jalur yang tidak kita sangka-sangka,” begitu terang guru kita, Ustadz Aam Amirudin saat menutup kajian Majelis Percikan Iman, serial Menuju Baitullah, di Masjid Agung Trans Studio, Selasa (13/12).
Sebagian orang, memang Allah S.W.T. anugerahi bibit kerinduan yang luar biasa. Berapapun harga “koper”, terkesan tak berarti bagi mereka. Meski hanya bisa menabung uang ‘recehan’ setiap harinya, namun mereka tak patah arang, mereka kumpulkan sedikit demi sedikit hingga citanya menatap ka’bah secara langsung tercapai.
Bagaimana-pun, haji merupakan puncak ritual ibadah hamba pada Rabb-Nya. Bukan hanya jiwa dan raga, layaknya shalat dan puasa, ibadah haji menuntut seorang hamba mengorbankan pula hartanya. Untuk mendaftar saja, membutuhkan dana Rp 25 juta rupiah. Itu baru sekadar untuk mendapatkan nomor antrian. Belum manasik dan lain sebagainya.
Bagi sebagian orang, untuk bisa berangkat haji, nampaknya, cukup dengan gaji satu bulan. Namun, bagi sebagian lainnya, harus menguras seluruh harta. Menjual sawah, menjual aset paling berharga mereka, untuk dihabiskan dalam sekali waktu, yakni untuk haji. Motif-nya pastinya tak masuk akal, namun tentunya logis bagi orang yang beriman.
Dari tahun ke tahun pemberangkatan haji, ada saja cerita heroik para pejuang baitullah. Misalnya, Mohammad Djaelani. Ia bukan pengusaha roti apalagi properti, bukan pula pekerja kantoran yang setidaknya punya sumber penghasilan yang tetap setiap bulannya. Beliau hanya kuli bangunan, yang setiap harinya belum tentu memperoleh upah.
Ia tipe orang yang sekalinya dapat kerja, harus memeras keringatnya. Di tahun 1980, pria yang berangkat haji dari Embarkasi Surabaya itu mulai menabung. Tahun 2007, ia baru memperoleh Rp 5 juta di “rekening tabungannya”. Sejumlah gaji rata-rata di kota besar dalam satu bulan. Rp 5 juta rupiah itu ia “sulap” menjadi sapi yang di tahun berikutnya ia jual dengan selisih Rp 3 juta.
Dari hasil tersebut, ia lantas membeli tanah seharga Rp 10 juta rupiah. Di saat itulah, hatinya tergetar dengan panggilan dari Allah S.W.T. untuk menjadi tamu-Nya. Ia bernadzar, jika tanahnya tersebut berhasil terjual suatu waktu nanti, ia akan gunakan untuk daftar haji. Berbahan baku nadzar yang diaduk dengan ikhtiar, jalan menuju baitullah terbuka lebar Djaelani.
Dari jalan yang tidak disangka-sangka, ada seorang dermawan yang mau membeli tanah beliau seharga tiket pendaftaran haji, Rp 25 juta.
“Tanah saya, yang harganya 10 juta, tidak pake ditawar langsung dibeli seharga 25 juta. Alhamdulillah, uangnya pas buat daftar haji,” ungkap Djaelani terharu, sebagaimana dikutip oleh haji.kemenag.co.id.
Masya Allah, ketika getaran itu berhasil kita “tangkap” lantas dikonversikan menjadi nadzar, diblender dengan ikhtiar, meweujud menjadi kunci pintu menuju baitullah. Pertanyaanya kemudian, sudah berapa kali hati kita bergetar, namun kita abaikan. Bisa jadi, getaran itu muncul di hati kita, namun sayangnya, kita belum mampu menangkapnya, apalagi mengkonversinya menjadi tekad yang kuat.
Padahal, ketika tekad sudah membulat di dada, bisa jadi, di saat itulah Arsy-nya bergetar, membukakan pintu dari arah yang tidak disangka-sangka. Karena itu, mari kita tangkap getaran itu ketika ia datang. salah satunya dengan ilmu. Seringkali, kita baru sadar, ketika pemahaman terpancar di hati kita.
Kata guru kita, Ustadz Aam, untuk dapat beribadah haji itu, kita akan membutuhkan empat elemen dari diri kita. Ialah jasad (sehat), pikiran (ilmu), harta, dan mental. Ada kalanya, mental kita lemah responnya, padahal uang untuk ongkos ada, jasad sehat, ilmu pun ada. Dengan alasan anak masih kecil, dengan alasan masih banyak biaya-eun.
Namun, jangan menyerah, ketika getaran itu belum juga datang pada kita atau ketika kita kesulitan menyadari getaran itu, mari kita datangi majelis ilmu bersama guru kita. Siapa tau di salah satu majelis ilmu yang kita hadiri, getaran itu datang, sementara semangat kita sedang menyala. Dengan begitu, tekad membulat, bergetarlah Arsy-Nya, membukakan pintu-pintu menuju baitullah, menjadi tamu-Nya.