Menggali dan memahami perjuangan kenabian Ibrahim AS, seperti tak pernah ada habisnya. Sungguh! sangat banyak teladan yang bisa kita daapatkan.
Sahabat Percikan Iman, kendati usia beliau semakin tua, Ibrahim AS tiada henti berdoa kepada Allah agar dianugerahkan anak yang saleh.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Rabbi hab lī minaṣ-ṣāliḥīn
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
Maka, pada akhirnya Allah mengabulkan doanya, yakni menganugerahkan seorang putra bernama Ismail AS.
Bagi Nabi Ibrahim, Ismail adalah buah hatinya yang dinantikan dan dicintai dalam hidup. Bagi Ibrahim, Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam hidupnya. Akan tetapi, di tengah-tengah kebahagiaan tersebut datanglah perintah Allah Swt untuk menyembelih putranya itu.
“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)
Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti logika dan perasaan hatinya ataukah menaati perintah Allah Swt. Ibrahim harus memilih, mengedepankan kecintaan pada yang tinggi (al-mahabbatu al-ulya), yaitu kecintaan kepada Allah atau mengedepankan kecintaan pada yang rendah (al-mahabbatu al-adna), yaitu kecintaan kepada putranya Ismail.
Ibrahim benar-benar menyadari, putranya adalah wujud anugerah Allah. Tapi, di sisi lain bisa saja keberadaan anaknya menjelma menjadi pesaing-Nya. Yakni, apabila kecintaan kepadanya sama besar bahkan melebihi besarnya kecintaan kepada-Nya. Maka baginya, kehadiran putranya adalah ujian berat. Allah SWT mewahyukan kisah mulia ini dalam QS ash-Shaafat [37]: 100-102.
Ismail yang kelak juga menjadi nabi, adalah benar-benar anak shalih yang berbakti kepada orangtua dan taat kepada Allah Swt. Dalam ayat itu, Ismail pun menjawab perintah berkurban yang datang lewat lisan ayahnya. Ismail berkata,” Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Di dalam hidup ini, seolah-olah kita dihadapkan dengan “Ismail” kita masing-masing. “Ismail” kita itu bisa berupa putra/putri, suami/istri, harta , jabatan, kekuasaan, populer dan lainnya. Maka, waspadalah dengan “Ismail-Ismail” tersebut. Jangan sampai kecintaan kita pada yang rendah (al-adna) mengalahkan kecintaan kita pada yang tinggi (al-ulya).
Menurut Imam Ibnu Katsir, mengutip keterangan dari Abu Hurairah RA, saat Ibrahim diperintah menyembelih Ismail. Sikap awal yang muncul dengan keshalehan antara bapak dan anak tidak serta merta memudahkan perjuangan menegakkan perintah Allah ini. Ketaatan selalu dibarengi dengan ujian, dengan sigap setan memprovokasi terus-menerus Ibrahim dan keluarganya agar mereka mengabaikan atau meragukan perintah Allah. Namun, pada akhirnya Ibrahim dan keluarganya berhasil meredam dan menangkis pengaruh setan tersebut.
Mengingat begitu monumentalnya peristiwa itu maka diabadikanlah dalam salah satu prosesi haji, yaitu melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah di Mina. Berada di tengah lautan manusia saat di jamarat, setiap jamaah haji akan merasakan kedekatan dengan-Nya.
Kelugasan Ibrahim dan keluarganya menolak pengaruh setan itulah spirit yang semestinya dihayati jamaah haji saat melontar jumrah. Di Mina, saban tahun jutaan jamaah haji dari seluruh dunia telah menegaskan penolakan terhadap pengaruh setan.
Sayangnya, penolakan terhadap pengaruh setan itu hanya terjadi di Mina. Salah satu buktinya di Indonesia (negara paling banyak jamaah hajinya), hingga kini masih banyak terjadi tindak perbuatan pro-setan, tidak takut Allah terbukti adanya pidana korupsi, manipulasi, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya.
Ironisnya, sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah berhaji. Rupanya, sepulang berhaji bukan hanya tidak meneruskan penolakan terhadap pengaruh setan, akan tetapi malah menjadi kawan, bahkan hamba setan. Atau jangan-jangan semua hanya kamuflase atau salah niat. Naudzubillah!
Bertepatan dengan dengan selesainya musim haji ini, sebaiknya kita merenungkan kembali makna firman Allah dalam QS ash-Shaaffaat (37) ayat 102 dan 103–107. Kemudian, menindaklanjutinya dengan meneladani Ibrahim dan keluarganya. Semua perjuangan menegakkan kalimat Allah perlu keikhlasan dan ketangguhan agar tetap lurus konsisten sampai ajal menjemput.
Oleh: Mahmud Yunus (Hikmah, Republika)