Menerima Seutuhnya

Percikan Iman – Sekali lagi kita akan belajar dari Nabi Ibrahim As. sang kekasih Allah. Sosok yang tanpa banyak tanya, apalagi protes dengan perintah Allah Swt. Ketaatannya pada Allah Swt. begitu mengagumkan. Pantaslah, beliau mendapatkan ucapan selamat langsung dari Allah Swt. Puncaknya, ialah ketika ia harus menyembelih anak-nya Ismail As. yang telah dinanti kelahirannya berpuluh tahun, berpisah selama belasan tahun.

Kisahnya dimulai ketika ia meminta keturunan pada Allah Swt. lantaran setelah puluhan tahun menikah, tak kunjung ia miliki. Pada dua ayat sebelumnya, yakni 100-101, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku seorang anak yang saleh.

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

Maka, Kami beri kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang sangat sabar, yaitu Isma‘il.

Do’a ini berpuluh tahun Ibrahim panjatkan, hingga Allah Swt. mengabulkannya pada usia yang sudah sepuh. Allah Swt. menjawab do’a Nabi Ibrahim As. dengan kelahiran kakek moyang-nya Nabi Muhammad Saw., yakni Nabi Ismail As. Seorang nabi yang pada usia bayi-nya ditempatkan di lembang kering-nan tandus, semata-mata demi mematuhi perintah Allah Swt.

Tanpa sedikitpun tanya, keluh, apalagi protes, Nabi Ibrahim As. menerima seutuhnya dan melaksanakan perintah-Nya. Menerima perintah tersebut, sebagai manusia, beliau berat, apalagi setelah puluhan tahun penantian, namun iman-nya memenangkan perasaannya. Ia tergugu, hingga bunda hajar bertanya, “Apakah Allah Swt. yang memerintahkan engkau?”. Barulah Ibrahim As. berbicara sangat singkat, “Ya”. Luar biasanya, bunda Hajar pun menerima seutuhnya seraya menjawab, “Kalau begitu, Allah Swt. takkan menyia-nyiakan aku.”

Pertanyaannya, apakah kita sudah menerima seutuhnya sosok yang menjadi pendamping kita? 

Inilah rumusan hidup bahagia, yakni “menerima seutuhnya”. Namun, bukan berarti menerima itu, tanpa khawatir, tanpa cemas. Hal ini tergambar dalam satu ayat, di mana ketika Ibrahim As. dalam langkahnya kembali menuju Palestina, ia tak menoleh sedikitpun karena khawatir terkalahkan oleh rasa iba pada anak-istrinya. 

Bagaimana Ibrahim As. tidak khawatir, sementara ia harus meninggalkan anaknya yang masih bayi merah dan istrinya, di tanah gersang. Panasnya di musim panas, bisa mencapai 45-50 derajat celcius. Rasanya seperti ada kebakaran di hadapan kita. Sementara, saat itu tak seperti sekarang, yang tempatnya sudah amat nyaman, dengan alas marmer dan penyejuk ruangan di mana-mana. Dulu, hanya beratapkan langit dan berlantaikan padang pasir, rumput pun tak tumbuh.

Hingga ketika langkahnya sudah agak jauh meninggalkan keduanya, dan ia menginjak dataran yang agak menanjak (bukit Shafa), barulah ia menoleh. Ia mengangkat tangan hingga terlihat ketiaknya, kemudian ia larikan kecemasannya pada Allah Swt. dalam curah do’anya. 

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan, yang demikian itu agar mereka melaksanakan shalat. Ya Tuhan, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rezeki dari buah- buahan kepada mereka. Mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim:37)

Sahabat, mari kita cermati lafadz do’a yang Nabi Ibrahim panjatkan. Beliau menyebutkan rizki setelah kesholehan. Ini pelajaran buat kita, hendaknya dalam berdo’a, titipkan imannya terlebih dulu, sebelum rizkinya. Ketika anak kita iamnnya bagus, banyak-nya rizki, akan menjadi orang yang pandai berterima kasih.

Singkat cerita, kembalilah Ibrahim As. ke Palestina (kediamannya). Beberapa tahun kemudian, lahirlah Ishaq As. dari rahim Bunda Sarah. Dari Nabi Ishaq As. lahirlah Nabi-nabi bani Israil, Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syu’aib, Musa, Harun, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, dan Isa ‘Alaihimussalaam.

Itulah mengapa kita, menyebut “Aali Ibrahim dalam shalawat di setiap shalat kita. Itu karena anak-cucunya yang menjadi Nabi.

Kisah berlanjut. Setelah belasan tahun meninggalkan Ismail As., Allah Swt. memerintahkan Nabi Ibrahim As. menyembelih Ismail As. Lewat mimpi, Nabi Ibrahim AS. menerima wahyu untuk menyembelih anaknya, Ismail As. Meski itu perintah Allah Swt. Ibrahim As. tak serta merta memaksa Ismail As. namun tetap bermusyawarah sehingga keduanya menerima seutuhnya. 

Ketika Ibrahim As. telah meletakkan golok atau pedang di leher Ismail As. (hendak menyembelihnya) — sebagai tanda menerima seutuhnya perintah Allah Swt. Barulah Allah Swt. menyatakan kelulusannya seraya memerintahkan Ibrahim As. mengganti Ismail dengan hewan sembelihan, yakni biri-biri atau kambing yang besar. 

Dalam surat Ash-Shaffat ayat 102-111, Allah Swt. berfirman

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka, ketika Isma‘il sudah berusia balig, Ibrahim berkata, “Hai, Anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu!” Isma‘il menjawab, “Ayahku! Lakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insyaAllah aku termasuk orang yang sabar dalam melaksanakan perintah Allah.”

فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ

Maka, ketika keduanya telah berserah diri, Ibrahim membaringkan anaknya untuk melaksanakan perintah Allah.

وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ

Lalu, Kami memanggilnya, “Hai, Ibrahim!

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Sungguh, kamu telah membenarkan mimpi itu.” Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ

Sesungguhnya, ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

Kami ganti anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ

Kami abadikan pujian untuk Ibrahim di kalangan generasi berikutnya,

سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ

“Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”

كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

Sungguh, Ibrahim termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

Sungguh, Ibrahim termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Jadi, sahabat, terima seutuhnya ketetapan dan takdir Allah Swt. barulah Allah Swt. akan menolong kita. Mari kita belajar dari Ibrahim As. yang mendapatkan selamat dari Allah Swt. dan juga pujian nan abadi, hingga kini kita menyebut-nyebut namanya dan keluarganya. 

Dari ayat ini, kita juga belajar, sudah sunnahnya, kita memberikan selamat pada orang yang memperoleh kebahagiaan, sudah melalui ujian atau kondisi sulit. Allah Swt. saja memberikan selamat pada Nabi Ibrahim As. secara langsung. 

Inilah puncak ujian Nabi Ibrahim As. dan ia lulus “menerima seutuhnya”. Mari kita buka surat An-Nisa ayat 65 untuk memahami lebih dalam soal “menerima”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, sehingga tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Ini mental yang harus kita miliki setelah kita belajar dari keluarga Nabi Ibrahim As. agar menerima seutuhnya sampai Allah Swt. memberikan selamat. Artinya, Nabi Ibrahim As. sukses melalui ujian-ujian dari-Nya. 

Sahabat, kita ini dalam hidup, selalu ada perselisihan. Maksudnya, setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Ibu beli bahan makanan di tukang sayur, pasti ada perselisihan. Ayah ingin tempe, si sulung ingin bayam, si bungsu request telur. Kita tak mesti membuat semua orang sepakat. Antar saudara, antar teman, pasti ada perselisihan. Pasalnya, setiap orang kepalanya beda-beda. 

Belum lagi ketika kita berbicara budaya dan karakter setiap orang. 

Dari ayat ini, kita belajar hendaknya kita menerima ketetapan Allah Swt. tanpa ada “keberatan dalam hati”. Misalnya, soal waris. Allah Swt. menetapkan lelaki dua kali lipat dari perempuan. Lelaki boleh menikahi dua sampai empat perempuan. Yang penting terima dulu. Bahwa kita belum melaksanakan, itu soal lain. Soalnya, banyak faktor untuk bisa melaksanakan. 

Sahabat, pada zaman jahiliah, yang namanya khamr itu ibarat teh atau kopi. Turunlah ayat yang mengharamkannya. Di saat itu, mereka menerimanya dulu. “Sehingga tidak ada rasa keberatan dalam hatinya”.

Jadi, kalau hidup ingin ringan, berlatihlah menerima sepenuh hati. Setelah kita belajar dari Ibrahim As. An-Nisa ayat 65 ini adalah kuncinya. Terima seutuhnya pasangan kita, murid kita, guru kita, orang tua kita, bos kita, karyawan kita, anak kita, mertua kita. Terima, maka kita bisa menikmati proses, pertolongan Allah Swt. pun akan datang.

____
Tulisan merupakan resume materi Kajian Utama yang disampaikan oleh Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari, Ahad (16 Juli 2023)

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *