Kalau ada yang menyatakan khitanan itu sama derajatnya dengan potong kuku mungkin merajuk pada keterangan berikut:
“Rasulullah saw. Bersabda: Lima perkara yang merupakan fitrah (kesucian/kebersihan), yaitu memotong bulu kemaluan, khitanan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Al-Jamaah)
Hadits ini menjelaskan bahwa kita dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan cara memotong atau merapikan bulu kemaluan, kumis, bulu ketiak, kuku, dan berkhitan.
Jadi inti pesannya bukan menyamakan khitanan dengan potong kuku, sebab bagaimanapun antara keduanya berbeda; potong kuku bisa dilakukan setiap minggu, sementara khitanan kan tidak mungkin tiap minggu, cukup sekali seumur hidup.
Dengan demikian hadits di atas tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang pesta khitanan. Sesungguhnya kita dianjurkan untuk mensyukuri setiap nikmat Allah swt. Kalau kita pandai bersyukur pasti Dia akan menambah nikmat-Nya, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14:7)
Untuk itu, luruskan niat (ikhlas, bukan karena ingin riya’, mencari sumbangan agar balik modal atau ada keyakinan-keyakinan tertentu yang bisa memberikan kesialan jika tidak dilakukan) saat mengundang kerabat, tetangga, teman, dan lain-lain dalam khitanan anak untuk mensyukuri nikmat-Nya, bukan untuk memamerkan kekayaan atau demi prestise. Jadi syukuran khitanan kalau niatnya lurus tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan senafas dengan anjuran Ilahi agar kita tahadduts bin ni’mah (menyebutkan nikmat) dan syukuran merupakan bentuk tahaddusts, sebagaimana firman-Nya:
“Dan terhadap nikamat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha 93:11) Kesimpulannya, diperbolehkan mengadakan pesta/hajatan khitanan kalau diniatkan untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Bukan untuk pamer harta atau kedudukan. Wallahu a’lam.
“Rasulullah saw. Bersabda: Lima perkara yang merupakan fitrah (kesucian/kebersihan), yaitu memotong bulu kemaluan, khitanan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Al-Jamaah)
Hadits ini menjelaskan bahwa kita dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan cara memotong atau merapikan bulu kemaluan, kumis, bulu ketiak, kuku, dan berkhitan.
Jadi inti pesannya bukan menyamakan khitanan dengan potong kuku, sebab bagaimanapun antara keduanya berbeda; potong kuku bisa dilakukan setiap minggu, sementara khitanan kan tidak mungkin tiap minggu, cukup sekali seumur hidup.
Dengan demikian hadits di atas tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang pesta khitanan. Sesungguhnya kita dianjurkan untuk mensyukuri setiap nikmat Allah swt. Kalau kita pandai bersyukur pasti Dia akan menambah nikmat-Nya, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14:7)
Untuk itu, luruskan niat (ikhlas, bukan karena ingin riya’, mencari sumbangan agar balik modal atau ada keyakinan-keyakinan tertentu yang bisa memberikan kesialan jika tidak dilakukan) saat mengundang kerabat, tetangga, teman, dan lain-lain dalam khitanan anak untuk mensyukuri nikmat-Nya, bukan untuk memamerkan kekayaan atau demi prestise. Jadi syukuran khitanan kalau niatnya lurus tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan senafas dengan anjuran Ilahi agar kita tahadduts bin ni’mah (menyebutkan nikmat) dan syukuran merupakan bentuk tahaddusts, sebagaimana firman-Nya:
“Dan terhadap nikamat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha 93:11) Kesimpulannya, diperbolehkan mengadakan pesta/hajatan khitanan kalau diniatkan untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Bukan untuk pamer harta atau kedudukan. Wallahu a’lam.