Dalam judul di atas, kata “harus” diberi tanda petik, karena memiliki 2 makna, pertama bermakna memang keadaan mengharuskannya bekerja, misalnya wanita lajang yang sudah mampu mandiri, atau janda yang memiliki tanggungan anak, atau istri yang karena uzur suaminya tidak mampu bekerja lagi, maka wanita memang harus bekerja agar tidak menjadi beban orang lain.
Makna kedua adalah keadaan tidak mengharuskannya bekerja tetapi tuntutannya yang mengharuskan dia bekerja, misalnya karena keinginannya agar memiliki eksistensi, atau agar kebutuhannya (mungkin lebih tepat keinginannya) terpenuhi, atau gara-gara ia sudah sekolah tinggi, sehingga sayang kalau kemudian ia tidak bekerja. Tulisan ini mengajak kita semua untuk merenungkan kembali, niat kita mengapa harus bekerja?
Dalam menjawab pertanyaan pada judul diatas, alasan yang sering diajukan para wanita adalah karena kebutuhan yang semakin meningkat, atau karena mahalnya harga barang-barang, atau karena tuntutan yang semakin beraneka ragam, termasuk biaya sekolah anak-anak untuk masuk ke sekolah favorit, agar anak-anaknya memiliki masa depan yang cerah. Dan kalau hanya mengandalkan penghasilan ayahnya saja, maka kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi.
Jawaban yang paling mungkin berikutnya adalah, sudah jamannya sekarang wanita harus memiliki jati diri, agar diakui oleh para lelaki – termasuk suaminya – tentang keberadaannya. Bahkan kesuksesan seorang istri terkadang dilihat dari keberhasilan perannya di luar rumah. Sedangkan wanita yang “hanya” memiliki peran di dalam rumah saja, tidak lagi membanggakan.
Sesungguhnya laki-laki dan wanita memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama di hadapan Allah, tetapi dalam kehidupan berjamaah dengan suami dan anak-anaknya, harus ada yang menjadi pimpinan. Dan Allah menugaskan sang suami sebagai pimpinan, karena Allah telah memberi kelebihan kepada kaum lelaki:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, ……”. (QS An-Nisaa:34).
Tugas sebagai pemimpin menuntut kekuatan dalam arti fisik maupun mental, keteguhan hati bahkan terkadang membutuhkan adu fisik maupun adu mental. Wanita dengan kodrat kelembutannya, tidak akan mampu memenuhi kewajiban itu.
Dan karena kelebihannya itu, maka suami diberi kewajiban kedua yakni memberi nafkah keluarga yang dipimpinnya. Memberi makan dan minum seperti yang dimakan dan diminumnya, menyediakan tempat tinggal – bukan memberi tempat tinggal – dimana sang suami tinggal. Allah berfirman
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. …..”. (QS Ath Thaalaq:6).
Banyak kesalahan persepsi terjadi atas surat An-Nissa 34, yakni suami merasa diberi kekuasaan penuh untuk memimpin keluarganya, sehingga dia bisa memerintahkan istrinya apa saja, dan sang istri harus mentaatinya, mutlak 100%.
Itu barangkali yang dimaksudkan “suarga nunut neroko katut” (basa spanyol : ke syurga ikut, ke neraka juga ikut). Persepsi ini kemudian dipublikasikan dan dianggap bahwa wanita adalah makhluk yang tertindas di rumahnya sendiri. Maka muncullah gerakan-gerakan untuk meningkatkan peran wanita.
Sayangnya peran yang dikembangkan itu bukan untuk kembali kepada fitrahnya sebagai wanita, tetapi justru untuk menentang fitrahnya. Bahwa wanita bukanlah makhluk yang lemah, dia mampu berperan seperti lelaki, termasuk memimpin. Semakin banyak wanita yang menjadi pimpinan, maka perjuangan untuk meningkatkan peran wanita semakin berhasil.
Di sisi lain, akibat dari makin kuatnya peran wanita di luar rumah adalah makin lemahnya kedudukan laki-laki. Dia harus berebut peran dengan wanita, termasuk dengan istrinya. Dan ketika kedudukan istri di tempat kerjanya semakin kuat, suami menjadi takut untuk mengingatkan kedudukannya sebagai seorang istri.
Bahkan lebih fatal lagi jika suami punya perasaan takut kalau-kalau istrinya kehilangan pekerjaan dan dia harus menanggung semua kebutuhan keluarganya sendirian. Maka dia “harus” relakan haknya dikurangi oleh istrinya. Tidak jarang seorang istri tidak sempat menyiapkan sarapan untuk suaminya karena harus buru-buru berangkat kerja. Parahnya lagi jika sang istri hanya sempat meninggalkan pesan untuk suaminya, bahwa kalau mencari lauk, di kulkas ada telur, tahu, tempe semuanya tinggal menggoreng, kalau perlu mie instan di lemari juga ada, dan kalau pengin minuman hangat, di termos sudah tersedia air panas.
Begitulah!!! Saking sibuknya sorang wanita berperan di luar rumah, banyak hak-hak suami yang dipangkasnya, dan dia akan menggantinya dengan sebagian penghasilannya. Dan dengan kesepakatan keduanya, selesailah persoalan. Benarkah begitu?
Mari kita coba renungkan kembali. Kalau seorang suami bekerja, itu karena ia sedang menjalankan kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya agar dapat menafkahi keluarga yang dipimpinnya. Jadi tidak salah kalau laki-laki bekerja itu dikatakan sedang beribadah.
Bagaimana dengan istri yang bekerja di luar rumah? Apakah ia sedang beribadah menegakkan ekonomi keluarga? Jika ya, maka kita harus mencari tuntunannya, karena dalam ibadah kita tidak bisa bertanya boleh atau tidak, tetapi yang kita tanyakan adalah ada tuntunannya atau tidak. Kalau bukan ibadah, lalu apa? Apakah itu urusan dunia? Kalau urusan dunia, kita harus mencari larangannya. Maka, mari kita renungkan kembali, mengapa wanita “harus” bekerja???
Endangpras Rum Budi
web : rumaljawi.blogspot.com
Category: Artikel Islam
- Home
- Artikel Islam
- Mengapa Wanita ‘Har...
Humas PI
PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL
- Ruko Komplek Kurdi Regency 33A
Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan
Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243
Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org