Dalam upaya mengembangkan sebuah masyarakat madani, penegakan hukum secara adil mutlak diperlukan karena kondisi tersebut akan mendorong ketaatan masyarakat. Sebaliknya, ketika hukum tidak ditegakkan dengan adil, akan menimbulkan tindakan-tindakan anarkis. Konsekuensinya, negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri negara akan berubah menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Pada akhirnya akan muncul suatu bentuk Darwinisme sosial-politik dengan hukum “survival of the fittest” melalui proses “natural selection” yang brutal.
Ketika hal itu terjadi, akan lahir suatu masyarakat hukum rimba (lawless society), suatu ciri masyarakat tak berkeadaban yang menuju kehancuran. Sejarah telah mencatat begitu banyak negeri atau peradaban yang hancur akibat ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakatnya. Ini juga yang diperingatkan dalam kitab suci (Alquran surat 17:16), “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
Untuk menghindari itu, pertama kita memerlukan komitmen bersama dari setiap warga negara pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang sudah diteterapkan berlaku untuk setiap orang. Tidak ada suatu bagian dari aturan atau hukum yang terlalu kecil untuk ditaati, juga tidak ada seorang pun yang cukup besar untuk dibenarkan melanggar aturan dan hukum tersebut atau untuk mengeklaim dispensasi dari ketentuan yang berlaku.
Namun itu saja tentu tidak cukup. Kita juga memerlukan sistem peradilan yang independen dan berfungsi secara penuh. Sistem peradilan yang bebas dari intervensi, baik pihak legislatif dan terutama sekali dari pihak eksekutif, merupakan jaminan tegaknya hukum dan peraturan itu. Sebaliknya, sistem peradilan yang rentan dari intervensi kekuatan luar adalah jaminan paling pasti untuk runtuhnya ketentuan hukum dan perundangan.
Mencermati kondisi negeri kita saat ini, praktik penegakan hukum yang lemah dan mengabaikan keadilan (terutama berpihaknya hukum pada golongan yang kuat) semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada proses-proses penegakan hukum dan keadilan oleh aparat-aparat yang berwenang. Lepas dari benar tidaknya sinyalemen yang mengatakan bahwa hukum kita dikuasai oleh suatu mafia peradilan, segi penegakan hukum memang merupakan titik paling rawan dalam kehidupan kenegaraan kita. Dalam masyarakat terdapat banyak indikasi bahwa tindakan kejahatan berlangsung dengan lindungan helat hukum (legal device) sehingga mendapatkan legitimasi legal palsu.
Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan terus. Diperlukan upaya perbaikan, di antaranya adalah dari keteladanan pemimpin, di samping menekankan pada pengawasan terhadap kinerja mereka. Bentuk pengawasan dapat berupa pengawasan internal dari masing-masing lembaga peradilan tersebut, pengawasan horizontal oleh instansi-instansi terkait lain, dan terakhir pengawasan eksternal, yang terutama dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media.
Melihat praktik yang selama ini berjalan, tampaknya pengawasan pertama dan kedua, yaitu pengawasan internal dan horizontal, masih sulit diharapkan. Maka pengawasan eksternal yang dilakukan oleh masyarakat menjadi penting untuk terus digulirkan dengan harapan dapat memicu dan memberi inspirasi kepada masyarakat itu sendiri atau lebih penting lagi bagi aparat yang berwenang, untuk mengembalikan dan menjalankan hukum dan peraturan sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri republik kita.