Percikan Iman – Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah qalbu ” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Karena strategisnya peran qalbu dalam diri manusia, para ulama sampai mengistilahkan qalbu ini ibarat panglima-nya. Artinya, qalbu ini tempatnya manusia membuat keputusan, dengan mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah. Peran tersebut juga tercermin dalam satu hadits, bahwa qalbu itu tempat-nya meminta fatwa.
عَنِ النَّواسِ بنِ سَمعانِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ ، والإثْمُ : ما حَاكَ في نَفْسِكَ ، وكَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عليهِ النَّاسُ )) . رواهُ مسلمٌ
Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553]
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَقَالَ : (( جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ البِرِّ وَالإِثْمِ ؟ )) قُلْتُ : نعَمْ ، قَالَ : (( اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، الِبرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ ، وَتَردَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ ))حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي ” مُسْنَدَي ” الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارميِّ بِإسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada qalbumu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan qalbu merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam qalbumu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadits hasan. Kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan sanad hasan)
Karena itu, beruntunglah ketika ada rasa bersalah dalam qalbu ketika kita berbuat maksiat atau dosa. Itu pertanda bahwa kondisi qalbu kita masih sehat. Pasalnya, ada orang yang sudah tak merasa bersalah ketika berbuat dosa, bahkan lebih jauh, ada orang yang bangga dengan kesalahannya.
Lebih jauh, kita akan menemukan jika kondisi qalbu akan menentukan nasib seseorang di Yaumil akhir nanti. Satu masa, di mana apapun yang kita peroleh selama di dunia menjadi tak berarti, hanya qalbun salim yang diterima oleh Allah Swt. sebagai persembahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَۙ
janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ
yaitu pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna,
اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qalbu yang bersih,
Untuk itu, sepantasnya kita senantiasa berupaya menjaga kesehatan qalbu kita. Pasalnya, bagaimana kita bisa meminta fatwa qalbu ketika qalbu kita sakit, apalagi qalbu kita mati. Justru di saat itu, kita-lah yang membutuhkan “fatwa” atau nasihat dari orang lain yang sehat.
Di dalam Al-Qur’an, kita akan menemukan tiga kondisi qalbu: qalbun mayyit, qalbun maridh, dan qalbun salim. Qalbun salim ialah kondisi qalbu yang ideal. Untuk meraihnya, ada dua upaya yang perlu kita lakukan. Pertama, menjaga pintu-pintu masuknya dari virus syubhat dan syahwat. Kedua, ibarat rumah, setelah bersih dari berbagai kotoran, kita juga harus secara rutin merawatnya dengan menuntut ilmu (agama) dan ibadah.