Saudara yang dirahmati Allah, saya akan mulai membahas pertanyaan Anda dengan hukum operasi selaput dara.
Operasi selaput dara adalah tindakan medis yang bertujuan untuk memperbarui keperawanan seorang perempuan yang sempat terganggu atau rusak oleh berbagai sebab.
Bila kita perhatikan dengan saksama, masalah seperti ini muncul ke permukaan sebagai imbas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut hemat saya, permasalahan ini masuk dalam ranah muamalah yang tinjauan hukum fikihnya dikembalikan pada kaidah-kaidah umum yang telah disepakati para ulama dengan menggali dalil-dalil yang dapat dijadikan rujukan mengingat permasalahan seperti ini tidak secara rinci dan tekstual dibahas dalam ayat Al-Quran dan hadits Nabi.
Ada dua pendapat yang muncul di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama melarangnya secara mutlak sedangkan yang kedua hanya membolehkannya dalam keadaan tertentu. Berdasarkan beberapa sumber yang saya ketahui, operasi selaput dara termasuk dalam katagori transplantasi organ tubuh yang dengan jelas dilarang dalam Islam.
Ini merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah, Asma, Ibnu Masud, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. melaknat wanita yang menyambung rambutnya, baik dengan rambut sendiri atau rambut orang lain.
Jika hanya dengan menyambung rambut saja tidak boleh (padahal hanya merupakan organ luar yang secara kasat mata tidak begitu banyak menimbulkan madharat), apalagi mengoperasi selaput dara dan menggantinya dengan alat tertentu.
Sudah barang tentu hal ini akan banyak mendatangkan kemadharatan seperti terbukanya aurat, peluang penyalahgunaan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi dalam Islam, sesuatu yang terlarang untuk dilakukan dapat berubah menjadi diperbolehkan jika ada unsur kemadharatan kalau hal tersebut tidak dilakukan. Seperti donor darah yang hukum asalnya terlarang. Jika tidak dilakukan (donor darah), tentu akan menyebabkan banyak orang meninggal karena kekurangan darah. Karena itulah kemudian donor darah diperbolehkan secara hukum.
Demikian pula halnya dengan penggantian selaput dara. Jika memang ada yang menyebabkan madharat jika tidak dilakukan, maka bisa saja operasi tersebut dilakukan. Hanya saja, sampai saat ini saya tidak melihat adanya unsur kemadharatan tersebut.
Penggantian selaput dara, terlebih digantikan dengan perangkat palsu, mungkin saja dapat membahayakan penggunanya. Bahkan bisa saja penggantian tersebut berpeluang besar untuk disalahgunakan demi kepentingan sekelompok orang. Wallahu a’lam.