TEH Sasa, saya seorang akhwat yang sudah menikah selama 10 tahun dan telah dikaruniai dua orang anak yang telah duduk di bangku SD dan TK. Saat ini saya merasa tertekan karena suami saya orangnya pelit meski rajin shalat. Suami saya hanya akan memberi nafkah kalau diminta. Berapa jumlah penghasilan suami, saya tidak tahu karena dia tidak pernah terbuka pada saya dari awal menikah sampai sekarang. Dia punya rekening tabungan dan kartu kredit atas nama sendiri tanpa sepengetahuan saya. Keadaan tersebut membuat saya harus mengirit pengeluaran. Alhamdulillah saya mempunyai pekerjaan part-time (mengajar) untuk memenuhi kebutuhan pribadi karena suami saya acuh dan kurang memperhatikan kebutuhan saya sebagai istrinya. Ini tidak adil karena kalau belanja untuk kebutuhan pribadi, suami saya selalu membeli barang-barang mahal dan bermerk. Apa yang harus saya lakukan dengan kondisi seperti ini?
JAWAB :
Ibu yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwa hidup ber-rumah tangga ibarat dua sisi mata uang, ada sisi bahagia dan sisi duka. Mengenai hal ini, Allah Swt. berfirman,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Anbiyaa [21]: 35)
Saya turut prihatin atas kondisi rumah tangga ibu. Di sini, yang menjadi sumber permasalahan adalah suami yang telah berbuat dosa dengan tidak menafkahi istri dan anak sesuai dengan tuntunan sunah Rasulullah Saw. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan tuntunan dalam salah satu haditsnya, “Satu dinar engkau sedekahkan dalam perjuangan di jalan Allah dan satu dinar engkau pergunakan untuk memerdekakan budak dan satu dinar engkau sedekahkan kepada orang miskin dan satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu, yang terbesar pahalanya adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu.” (H.R. Muslim)
Suami pelit akan dijauhkan dari rahmat, kasih sayang, dan petunjuk Allah Swt. karena hatinya telah ternoda oleh sifat zalim terhadap diri dan orang lain (istri dan anak). Dalam Al-Quran disebutkan bahwa ciri orang yang beriman dan bertaqwa (selain menegakkan shalat) adalah menafkahkan sebagian rezekinya. Meski suami ibu terlihat mengerjakan shalat, akan tetapi kekhusyuannya masih perlu dipertanyakan. Ia mungkin shaleh secara lahiriah, tapi hal tersebut hendaknya dibarengi dengan keshalehan hati dengan senantiasa ber-taqarub kepada Allah Swt. yang sangat membenci orang pelit.
Menjadi tugas ibu untuk mengajak suami kembali pada jalan Allah Swt. dan Rasul-Nya tanpa mengenal lelah. Orientasikan usaha ini pada proses (bukan hasil) dan jadikan sebagai bekal amal di akhirat. Allah Swt. berfirman,
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (Q.S. At-Taubah [9]: 105)
Untuk mencapai hal itu, ibu dapat mengajak (dakwah) secara lisan ibu, memberikan keteladan melalui perbuatan, serta mendoakan suami agar kembali ke jalan yang benar. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]: 125)
Walaupun suami bersikap nusyuz (tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan ayah), pada tahap awal saya menyarankan agar ibu bersabar dan tetap bertahan dalam rumah tangga ini demi anak-anak. Target paling minimal adalah kebutuhan anak akan sosok seorang ayah masih dapat terpenuhi meski dari segi keteladanan masih harus diimbangi dan diisi oleh ibu.
Mengenai nafkah keluarga, sebaiknya ibu mempunyai penghasilan sendiri sehingga bisa memenuhi kebutuhan pribadi serta anak-anak. Namun demikian, ibu harus tetap mengingatkan dan meminta jatah nafkah (uang) sehari-hari kepada suami. Kalau tidak diminta, suami dengan karakter seperti ini akan semakin terbiasa melalaikan kewajibannya. Meski ingat, dia akan berpura-pura lupa. Meski ada uang, dia akan mengaku tidak punya. Insya Allah, ini adalah ujian keshalehan menuju sakinah dan ketenangan hidup ibu sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghaabuun [64]: 14)
Dari keterangan tersebut di atas, tugas ibu adalah mendampingi suami (dengan ketidakshalehannya) dengan tujuan semoga ia segera bertaubat dan kembali pada jalan Allah Swt. Ia bisa disebut sebagai ‘musuh’ ibu dalam tingkat keimanan yang berbeda sehingga ibu tetap harus bersikap hati-hati dan waspada jangan sampai terbawa (menjadi tidak shaleh). Jangan mudah diperdaya dan diintimidasi oleh suami meski ibu harus tetap memiliki jiwa pemaaf dan lapang dada untuk menutupi kesalahannya. Niatkan semuanya karena Allah Swt. Insya Allah, ini akan menjadi jalan untuk mendapat ampunan-Nya.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridoan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (Q.S. Ar-Rad [13]: 22)
Insya Allah, semua ujian tersebut akan membuat ibu lebih dekat kepada Allah Swt. dengan selalu berdzikir untuk mengingat-Nya.
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Rad [13]: 28)
Wallahu ’alam bishawab.
(Hj. Sasa Esa Agustiana)
Jazakumulloh Khoiron Katsiiron ilmu n pencerahannya yang luar biasa..