Percikan Iman – Harta, tahta, dan popularitas terlalu menyilaukan sehingga membuat orang berlomba untuk meraihnya. “Saking bersemangatnya”, mereka sampai lupa dengan keluarganya, sampai lupa dengan tuhannya, lupa dengan tujuan yang sebenarnya. Akibatnya, hidup terasa hampa, makna kehadiran diri pun mengering, mereka kehilangan makna hidup.
Kapan kita bisa mengukur makna kehadiran diri kita? salah satunya adalah ketika sakit atau tertimpa musibah atau ujian. Saat sulit adalah masa di mana kita dapat mengetahui, apakah kehadiran kita bagi keluarga kita berarti baik atau tidak. Nyatanya, ada orang yang meski nampak dieluk-elukkan ribuan orang, selalu menjadi sasaran lampu sorot, namun dia justru merasa kesepian.
Terhubung belum tentu terkoneksi. Terkoneksi belum tentu bermakna.
Penulis dari berbagai disiplin ilmu seperti keperawatan, kedokteran, psikologi, filsafat, agama, dan seni berpendapat bahwa pencarian manusia akan makna merupakan kekuatan utama dalam hidup dan salah satu tantangan paling mendasar yang dihadapi individu.
Mengutip, ncbi.nlm.nih.gov (Website Kesehatan Pemerintah Amerika), penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker yang memiliki makna hidup tinggi, punya kemampuan lebih besar menoleransi sakit fisik yang mereka alami daripada mereka yang tidak memiliki makna hidup. Kemudian, mereka yang merasakan sakit dan lelah melaporkan kualitas hidup yang lebih baik daripada mereka yang memiliki pemaknaan hidup yang rendah.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Makna kehidupan atau arti kehidupan (bahasa Inggris: the meaning of life) adalah topik yang berkaitan dengan signifikansi kehidupan atau keberadaan secara umum (eksistensi). Persoalan tentang makna kehidupan sering diungkapkan dalam berbagai pertanyaan seperti “Mengapa kita ada di sini?”, “Untuk apa hidup ini?”, dan “Apa tujuan hidup ini?”
Nyatanya, di luar sana, masih ada orang yang bingung dengan hidupnya. Segudang pertanyaan mendasar dalam hidupnya banyak yang belum terjawab.
- Untuk apa aku hidup?
- Untuk apa uang yang aku punya ini?
- Untuk apa aku menikah?
- Untuk apa aku punya keturunan?
Sebagian orang mengatakan, “Ah hidup saya mah ngalir aja..” Mungkin ada sebagian orang yang bisa bertahan hidup dengan prinsip hidup seperti itu. Nyatanya, orang dengan pemaknaan yang rendah pada hidupnya, rendah pula harapan hidupnya, rendah pula rasa tanggung jawabnya pada harta yang dimilikinya, pun tanggung jawabnya pada pernikahan maupun anaknya.
Pencarian mengenai makna hidup ini, umumnya mulai terjadi pada anak-anak yang mulai beranjak ke fase dewasa. Mereka mengalami kondisi di mana fungsi biologisnya mulai berfungsi seluruhnya, pun akalnya mulai berfungsi sempurna. Hanya, akalnya tak memiliki konten, akibatnya mereka kebingungan. Di sinilah fase yang disebut fase remaja yang labil.
Emosinya labil, lantaran fungsi akalnya tak memiliki tambatan. Sementara, di sisi lain, fungsi biologisnya menuntun mereka pada hasrat yang menggebu, mulai merasakan sensasi suka pada lawan jenis. Sampai akhirnya, mereka mengira, apa yang dikatakan dunia soal harta, tahta, pemenuhan syahwat, pun popularitas sebagai tujuan hidupnya.
Mereka pun menjadikan apapun yang mereka dapat akses sebagai sarana untuk meraihnya. Namun, ternyata, itu semua tak menjawab kebutuhan akal mereka. Inilah fase yang para psikolog katakan sebagai quarter life crisis.
Quarter life crisis atau krisis seperempat abad adalah fenomena saat seseorang berusia 18–30 tahun merasa tidak memiliki arah, khawatir, bingung, dan galau akan ketidakpastian kehidupannya di masa mendatang. Tidak hanya itu, orang yang mengalami quarter life crisis bahkan kerap mempertanyakan eksistensinya sebagai seorang manusia. Ada juga orang yang sampai merasa bahwa dirinya tidak memiliki tujuan hidup.
Jika, ragam pertanyaan dalam akalnya tak kunjung terjawab, tak kunjung memiliki tambatan, bisa-bisa mereka mengalami apa yang dialami oleh para selebritas besar. Ketika mereka sudah lelah-lelah mendaki ke puncak kekayaan, popularitas, semua pemenuhan syahwat sudah tergapai, ternyata mereka tak menemukan jawaban. Di sana-lah titik, di mana mereka merasa hidupnya hampa alias tak bermakna.
Beruntungnya sebagai orang beriman. Beruntungnya ketika Anda lahir dalam lingkungan keluarga Islami. Islam menawarkan semua jawaban itu sampai tuntas, memuaskan tuntutan akal dan logika, bahkan syahwat pada kadar yang tepat.
Di dalam kita diberitahu bahwa kita berasal dari sisi Allah Swt. dan akan kembali pada-Nya. Kita pun tahu, bahwa misi atau tujuan kita hadir ke muka bumi ini pada dasarnya adalah untuk beribadah pada-Nya, demi meraih Ridho dan Rahmat-Nya. Pun, segala yang kita miliki adalah amanah dari-Nya, untuk kita gunakan dan kita rawat sesuai dengan ketentuan yang jelas.
Bahkan, Islam memberi kita rambu-rambu yang jelas, pun memberi tahu siapa musuh yang akan terus-menerus menggoda kita. Seandainya seseorang sampai tergoda, kemudian terlarut, pada akhirnya akan menemui titik di mana hidupnya akan hampa, tak bermakna. Naudzubillahi min dzaalik
Karena itu, sepantasnya, kita bersyukur menjadi pemeluk Islam. Jangan sampai keluar darinya. Teruslah berjuang untuk belajar, kemudian mengamalkan ajarannya sampai menyeluruh, melingkupi segala aspek kehidupan kita. Niscaya, kehidupan kita kan penuh makna, apakah terasa pahit atau manis, tetap bermakna ibadah pada Allah Swt.
Wallahu a’lam bi shawwab
_____
Tulisan ini, kami kembangkan berdasarkan materi yang disampaikan oleh guru kita, Dr. Aam Amirudin, M.Si. pada Majelis Percikan Iman (MPI) setiap Ahad, di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari selama bulan Juli 202