Menguatkan Koneksi, Merajut Makna

Percikan Iman – Pada dasarnya, manusia itu makhluk yang “ketergantungan”, tak bisa hidup sendiri. Itu karena, menjadi khalifah itu bukan berarti “menjadi bos” alam semesta, melainkan menjadi bagian alam semesta. Karena itu, wajar jika seseorang hanya fokus pada dirinya sendiri, dia akan sampai pada titik di mana ia merasa kehadirannya tidak bermakna. Karena itu, penting bagi kita menguatkan koneksi dengan alam semesta. Namun, di atas itu semua, yang terpenting adalah membangun koneksi dengan Sang Pencipta, Allah Swt. 

Dalam Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 41-42, Allah Swt. berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا.

 Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah, zikir yang banyak 

 وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا

dan sucikanlah dia pagi dan petang.

Dalam ayat tersebut, Allah Swt. memberitahukan pada kita agar senantiasa terhubung dengannya selama 24 jam penuh, tak terputus sama sekali. Ketika koneksi dengan Allah Swt. tidak terputus, selama itu pula energi yang tak habis-habis akan mengucur pada kita. Energi tersebut sangat kita butuhkan sehingga kita bisa sabar menyikapi ragam masalah pada kehidupan.

Dalam Qur’an, surat Al-Isra, ayat 78-79, Allah Swt. menjelaskan secara gamblang korelasi hubungan dengan-Nya adalah yang paling utama sebelum apapun. 


أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا 

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). 

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا 

Dan pada sebagian malam hari, salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

Bukankah kita butuh sabar kala cita belum terwujud? Bukankah kita butuh sabar dalam membesarkan dan mendidik anak? bukankah kita butuh sabar dalam penantian jodoh? dan.. bukankah kita butuh lebih banyak sabar ketika memiliki jodoh?

Ibarat ponsel yang perlu di-refresh, begitupun jiwa kita. Ketika masih berbentuk batangan dulu, kalau ponsel kita mulai terasa lemot, biasanya kita mencabut baterai, kemudian memasakannya lagi. Kini, kita melakukan refresh melalui aplikasi. Jika ponsel di-refresh dengan cara begitu, maka kita melakukannya lewat prosedur shalat. Lima kali sehari, kita dipanggil Allah Swt. untuk terhubung dengan-Nya. Setiap shalat adalah momen untuk kita “berbincang” dengan-Nya, mengutarakan segala permasalahan yang sedang kita hadapi, sekaligus meminta solusi. 

Tak hanya itu, Allah Swt. malah menjanjikan “sesi privat”, yakni pada malam hari, mulai selepas waktu isya hingga menjelang waktu fajar menyingsing, yakni tahajud. Bukankah jika kita memiliki koneksi bagus dengan orang kuat, kita bisa merasa tenang? Nah, ini yang menjadi koneksi kita adalah pencipta dan pemelihara alam semesta, Allah Swt. yang tak mungkin satupun permasalahan yang luput dari perhatian-Nya. Kalau segala permasalahan belum menemukan titik terang, bisa jadi itu karena koneksi kita dengan Allah Swt. tidak baik-baik saja. Maka, perbaikilah.

Selanjutnya, agar hidup ini bermakna, kita membutuhkan koneksi yang baik dengan orang terdekat kita, yakni keluarga; suami, istri, anak, menantu, cucu. Percuma kita terkenal baik oleh orang lain, namun keluarga malah memberikan testimoni yang buruk atas eksistensi kita. Karena itu, sebelum kita baik pada orang lain, baiklah dulu pada keluarga. 

Dalam Qur’an, surat At-Tahrim ayat 6, Allah Swt. berfirman, 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Dari ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa bahan baku utama relasi kita dengan keluarga haruslah karena sayang dan ingin menyelamatkan dari azab Allah Swt, bukan karena alasan duniawi, misal berbangga-bangga atau malah karena alasan materi. Penting untuk kita bahas karena ada di tengah-tengah masyarakat budaya “mulang tarima”, yang berarti anak seolah-olah harus mengembalikan segala pemberian orang tua-nya. 

Pada dasarnya, pasangan kita, anak-cucu kita adalah amanah dari Allah Swt. yang harus kita jaga dan didik dengan penuh kasih sayang. Dengan begitu, bekas kasih sayang yang kita torehkan di kehidupan mereka, dapat menjadi sebab mereka menyelamatkan kita dari api neraka dan berkumpul di surga-Nya. Pantas, jika Rasulullah Saw. menjadikan kualitas seseorang itu salah satunya dilihat dari kualitas relasinya dengan keluarga. 

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, Rasulullah Saw. telah bersabda :

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku” [HR. At Tirmidzi no: 3895]

Jika kita menjadikan keluarga sebagai alasan untuk bekerja, tapi sampai melupakan aspek tanggung jawab lainnya, bisa jadi kita harus mengecek kembali niat kita. Jangan-jangan, kita bekerja karena ambisi pribadi. Waspadalah, ambisi tersebut, bisa-bisa mengantarkan kita pada hidup yang nir-makna atau hampa di penghujungnya. Mereka biasanya berlindung di balik kalimat, “Aku kan cari nafkah buat menghidupi kalian..” 

Kalau kesibukan menjadi alasan, bukankah orang yang layak disebut paling sibuk adalah Rasulullah Saw. Beliau kepala keluarga, beliau pemuka agama, beliau pebisnis, beliau panglima perang, dan beliau adalah pemimpin negara. Namun, tahukah Anda, beliau masih sempat membantu istri mengadon roti. Bukankah kita layak malu pada beliau?

‘Aisyah Ra. berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi Saw.mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri-istri beliau semisal mengangkat ember dan menjahit bajunya.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

Meski beliau Pejabat, beliau tak sungkan “merendahkan” hatinya, membantu istrinya dan itu tidak meruntuhkan wibawanya sama sekali. Begitupun akhlak beliau pada anak-anak. Sebagaimana kita tahu, Rasulullah Saw. amat menyayangi cucu-cucunya.  Bahkan, dalam kegiatan beribadah pun, Rasulullah Saw. tetap menunjukkan kasih sayangnya. 

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِي قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ وَهِيَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُوْدِ أَعَادَهَ

Dari Abu Qatâdah al-Anshari Radhiyallahu anhu , ia berkata : saya melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para Sahabat sambil menggendong Umamah bin Abi al-Ash, anak Zaenab puteri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di atas bahunya, maka apabila ruku Beliau meletakkannya dan apabila selesai sujud Beliau menggendongnya kembali

Begitulah seharusnya pun kita, meski ada tuntutan untuk mengejar kewajiban mencari nafkah atau karir, anak harus tetap punya porsi perhatian yang proporsional. Bukankah kita mencari nafkah untuk mereka? Namun, sayangnya, justru kalimat tersebut menjadi andalan ketika anak meminta hak-nya untuk bersama dengan kita dan chat whatsApp itu nampak menjadi prioritas daripada tatapan harap anak kita. Pantas-lah Allah Swt. memberikan kita himbauan yang jelas agar kita selaku orang tua memperhatikan konektivitas kita dengan anak. Yakni dalam Qur’an, surat Thaha ayat 132, Allah Swt. berfirman,

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.

Lewat ayat ini, kita dihimbau agar memperbaiki koneksi dengan anak keturunan kita berdasarkan rasa takut kita pada Allah Swt. bukan karena dunia dan lebih spesifik harta. Pun, kita harus mendidik mereka agar sama-sama mendekatkan diri pada Allah Swt. agar kita dan anak-anak kita bisa saling bersabar satu sama lain. Kalau kita perhatikan, interaksi dengan anggota keluarga tak jarang, cukup mendaki yang akhirnya, anak dan orang tua malah sering berkonflik. 

Belakangan, penelitian menunjukkan, hubungan baik kita dengan cucu berimplikasi positif pada kesehatan. Mengutip Antara.com, mereka yang suka mengasuh cucu sesekali terbukti punya harapan hidup lebih lama tujuh tahun. Sebagai perbandingan, mereka yang tidak pernah mengasuh cucu harapan hidupnya hanya empat tahun. 

“Sama sekali tidak berinteraksi dengan cucu bisa berdampak negatif terhadap kesehatan kakek-nenek,” kata Sonja Hilbrand, mahasiswa doktoral departemen psikologi Universitas Basel, Swiss, yang memimpin studi ini. 

Makna kehadiran kita selama hidup pada akhirnya akan terukur berdasarkan seberapa kehilangan saat kita meninggalkan keluarga kita dan orang-orang terdekat kita. Jika baik hubungan kita dengan keluarga kita, besar harapan kenangan baik tersebut dapat menjadi “jembatan” do’a, permohonan ampun, juga tambahan bekal ketika kita dalam masa penantian di alam barzakh. 

Wallahu a’lam bi shawwab

___
Tulisan ini, kami kembangkan berdasarkan materi yang disampaikan oleh guru kita, Dr. Aam Amirudin, M.Si. pada Majelis Percikan Iman (MPI) setiap Ahad, di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari selama bulan Juli – Agustus 2024

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *