Percikan Iman – “Saya ingat,” kata salah satu Mahasantri, Farhan,”waktu kecil saya sering digendong ayah sepulang dari masjid karena saya tertidur. Ketika terbangun, saya pura-pura tetap tidur agar ayah tetap menggendong saya.”
Lain lagi dengan penulis, yang begitu terkenang ketika satu shubuh di antara ribuan shubuh, ayah membonceng saya dengan sepeda-nya. Saya berdiri dan merangkul beliau. Sepulang shalat shubuh, Ayah membawa saya ke pasar lantas menikmati beberapa potong roti kukus.
Kenangan-kenangan indah tersebut melekat hingga saat ini. Tak hanya indah, namun juga tertaut padanya Masjid. Memori indah yang tertaut dengan masjid.
Namun, ketika sudah dewasa, penulis melihat fenomena, di mana sebagaian orang dewasa yang nampak terganggu dengan hadirnya anak-anak di masjid. Menaggapinya, ada yang memakluminya dan cenderung membiarkan, ada juga yang kemudian meminta mereka berhenti membuat keributan, bahkan ada yang hingga memarahi.
Bagaimana tidak, mereka berlarian di sekitaran masjid, suaranya lepas dan volume suaranya begitu bising memenuhi seluruh ruang di dalam masjid, mengalahkan suara pembicara yang sudah menggunakan pengeras suara sekalipun.
Di sisi lain, selaku orang tua yang membawa anak di satu sisi kadang merasa tak enak dengan jama’ah lainnya. Namun, di satu sisi, kita juga sadar jika memawa serta anak merupakan sebentuk upaya agar mereka terbiasa ke masjid seraya berharap hati mereka senantiasa tertaut dengan masjid di masa dewasanya.
Tenang, pilihan ayah-ibu membawa anak-anak ke masjid tidak salah kok. Dalam konteks ke-umat-an, justru, kita harus khawatir ketika tak terdengar suara canda, tak ada gradak-gruduk suara anak berlarian di dalam masjid. Sang penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih bahkan sampai berujar,
”Jika suatu saat masa kelak kamu tidak lagi mendengar bunyi bising dan gelak tertawa anak-anak riang di antara shaf-shaf Shalat di masjid-masjid, maka sesungguhnya takutlah kalian akan kejatuhan Generasi muda kalian di masa itu.”
Lantas, bagaimana caranya agar anak-anak kita tetap dapat “bermain” di masjid, namun tidak sampai menganggu orang dewasa lainnya?
Menyikapi hal ini, bukan berarti kita juga mendiamkan sama sekali apapun yang anak kita lakukan. Ajaran tetap perlu kita sampaikan, namun caranya yang harus kita pikirkan kemudian. Lemah lembut adalah kuncinya.
Soal lemah-lembut, tak ada lagi contoh terbaik selain Rasulullah S.A.W. lihatlah bagaimana Rasulullah S.A.W. menyikapi perilaku cucu-cucu-nya di tengah waktu beliau khutbah.
“Rasulullah suatu ketika tengah berkhotbah di mimbar masjid. Lantas, kedua cucunya (Hasan dan Husein) datang bermain-main ke masjid tersebut dengan memakai baju kembar berwarna merah serta berjalan dengan sempoyongan jatuh bangun karena memang masih bayi. Lantas Rasulullah saw turun dari mimbar masjid lalu mengambil kedua cucunya itu serta membawanya naik ke mimbar kembali dan berkata, ‘Maha Benar Allah, kalau harta serta anak-anak itu yaitu fitnah, bila telah lihat kedua cucuku ini saya tidak dapat sabar’. Lantas Rasulullah kembali meneruskan khotbahnya.” (HR. Abu Dawud)
Kemudian, selaku pengelola Masjid, kita dapat menyediakan tempat khusus anak bermain. Dengan begitu, kala orang tua harus shalat atau mengaji, anak-anak tetap dapat bermain.
Itulah spirit kami ketika di Masjid Peradaban, kami menghadirkan “Play Date”. Bapak-Ibu jama’ah tetap dapat membawa anak-anak-nya ke masjid, ke majelis ilmu dan fokus selama Majelis Percikan Iman berlangsung.
Mari kita ukir memori indah di hati anak-anak kita yang tertaut dengan masjid. Dengan begitu, kita dapat berharap hati anak-anak kita akan senantiasa tertaut dengan Masjid, dengan salah satu institusi kebaikan. Ketika kita wafat, anak-anak kita mendo’akan kita, jariah-nya menjadi teman dan penerang di alam kubur.
Amiin