Ada suatu wacana yang cukup menarik akhir-akhir ini, yaitu pemerintah merencanakan akan memperlakukan para koruptor bak seorang teroris. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera dan sebuah peringatan bagi siapa saja yang melakukan tindakan korupsi. Mengapa pelaku korupsi perlu disamakan dan pelaku teroris? Hal ini terjadi karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, sama halnya dengan teroris, meskipun antara keduanya berbeda cara eksekusinya.
Korupsi (Ghulul) adalah tindakan kriminal memperkaya diri sendiri dengan cara mengambil hak-hak orang lain. Koruptor biasa mengambil yang bukan haknya untuk memperkaya diri. Korupsi masih berkonotasi perampok berkerah putih. Sedangkan, teroris secara awam dapat kita indentifikasi dari adanya ledakan bom atau sejenisnya di tempat-tempat tertentu yang bertujuan untuk mencederai atau membunuh orang lain. Ini adalah definisi yang paling mudah dicerna oleh orang lain. Kalau tiba-tiba terjadi ledakan bom, orang akan berpikir itu ulah teroris. Sebenarnya, korupsi dan teroris sama-sama memberikan teror dan berpotensi merusak kehidupan bangsa dan negara.
Seperti diketahui, aksi dan program pemerintah melawan teroris dan korupsi telah mendapat respons positif dari komunitas internasional. Menurut data, tingkat korupsi di Indonesia kini sudah mulai turun dibandingkan lima tahun yang lalu. Namun, sejauh mana efektivitas perlakuan para koruptor sebagaimana teroris yang diwujudkan dalam revisi undang-undang masih akan diuji. Hal ini mengingat perang melawan tindak pidana korupsi masih berlangsung dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi pun masih diperdebatkan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Walaupun baru akan dilakukan, adanya keinginan pihak keamanan untuk menyamakan perlakuan antara pelaku korupsi dan teroris perlu didukung. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo sendiri menyatakan bahwa menyamakan perlakuan antara koruptor dan teroris bukan masalah besar sepanjang ketentuannya mengatur demikian. Polisi pasti akan mengikuti jika kesepakatan yang dicapai dalam Konferensi Internasional Antisuap itu nantinya diadopsi dalam perundang-undangan di negara kita.
Ketika seorang teroris ditangkap dengan cara kekerasan (ditendang hingga ditembak), siapkah polisi kita melakukan hal yang sama pada pelaku korupsi yang sebagian besar adalah para pejabat, orang banyak duit, serta pemegang kekuasaan. Tidak sampai di situ, di saat seorang koruptor sudah di tahanan, sanggupkah polisi untuk menutup mata agar tidak tergoda dengan bujuk rayu uang sekoper yang disodorkan agar si empunya diperlakukan sebagai raja?
Jika kita lihat fenomena sekarang, sangat sulit sekali penegak hukum bisa memperlakukan para koruptor bak seorang teroris. Kita bisa bandingkan kasus teroris Abu Bakar Baasyir dengan kasus-kasus korupsi yang marak belakangan ini. Keberatan Ustad Abu Bakar Baasyir atas vonis hakim yang menghukumnya 15 tahun sangat beralasan dan tidak sepadan dibanding vonis bagi para koruptor. Apalagi, elite bangsa dan masyarakat sependapat bahwa tindakan korupsi sama, bahkan lebih kejam dibanding tindakan teroris. Lihat saja vonis yang baru saja dijatuhkan pada empat politikus PDIP (Agus Condro Prayitno, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Willem Max Tutuarima) terkait dugaan suap terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur BI. Mereka hanya mendapat hukuman dari 15 hingga 20 bulan penjara. Jelas ini sangat ringan. Ini membuktikan bahwa masih ada ketidakadilan dalam penegakan hukum di negeri ini.
Masuk akal kalau kita lihat kritik yang disampaikan para pendukung Baasyir tentang ketidakadilan yang menimpa amir mereka. Misalnya saja ketika Baasyir ditangkap tanpa pemberitahuan terlebih dulu, bahkan tidak diberi kesempatan oleh aparat kepolisian untuk memberikan hak menjawab tuduhan. Begitu pula soal perpanjangan masa penahanan yang bisa dilakukan sesuka aparat. Selain itu, alasan aparat mengajukan perpanjangan penahanan bagi Baasyir karena berdasarkan informasi intelijen yang menyatakan masih perlu ditahan karena khawatir tersangka bakal kabur atau menghilangkan barang bukti. Ini jelas tidak masuk akal mengingat usia Baasyir yang sudah renta.
Perlakuan berbeda diberikan kepada para koruptor. Mereka seakan dibiarkan kabur sebelum proses hukum dijalankan dan tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengejar para pelaku korupsi yang bersembunyi di luar negeri. Padahal, pelaku korupsi jauh lebih mudah untuk diketahui daripada pelaku teror.
Demi tegaknya keadilan, kita harus mendesak penegak hukum untuk mengembalikan semua koruptor yang bersembunyi di luar negeri. Di Singapura saja setidaknya ada sekitar 20 koruptor dan mereka sepertinya tidak tersentuh serta menikmati kebebasan di Negeri Singa itu. Pelaku korupsi sepantasnya kita perlakukan seperti teroris. Karena, mereka ikut menyuburkan paham terorisme. Kemiskinan dan ketidakadilan menjadi salah satu penyebab utama dari merebaknya aksi terorisme di dunia, termasuk juga di Indonesia. Kalau saja negara mampu memberikan pekerjaan dan kehidupan yang lebih layak kepada rakyatnya, niscaya tidak ada orang yang mau melakukan aksi bom bunuh diri. Ketika harapan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik tidak mereka dapatkan, orang akan berpikiran pendek, termasuk mau saja disuruh mati dengan melakukan aksi bom bunuh diri.
Apabila kita tidak menginginkan terorisme terus menjadi ancaman di negeri ini, maka kita bukan hanya harus keras kepada para pelaku aksi terror, tetapi juga para koruptor.(Abu Ulya)
Mapi Juli 2011