Saya turut berbahagia atas kehamilan Teteh. Semoga sang janin dapat tumbuh dengan sehat dan lahir selamat serta kelak menjadi anak yang shaleh. Amin.
Perlu dipahami bahwa menikah adalah ibadah. Hubungan intim yang dilakukan suami istri pun bernilai ibadah. Seyogianya, dalam menjalankan kewajiban suami istri tersebut diawali dengan berdoa. Rasulullah Saw. bersabda, “ Jika seseorang hendak bergaul suami istri, berdoa, ‘Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkan kami dari setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.’” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ibn Hibban)
Hal ini dilakukan sebagai upaya mempersiapkan anak agar bertauhid dan dijauhkan dari setan sejak janin. Bukankah Allah Swt. berfirman (Q.S. Al-A’raaf [7]: 172-173) tentang adanya perjanjian manusia dengan Allah Swt.? Dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia atas fitrah tauhid karena telah berikrar sejak sebelum dilahirkan. Manusia tidak mempunyai alasan untuk tidak mengetahui Allah karena telah melihat bukti-buktinya dengan berbagai ayat. Tidak ada alasan pula bagi manusia untuk mengatakan bahwa dakwah para Rasul tidak sampai kepada mereka. Allah Swt. telah membekali manusia dengan akal, hati, dan pikiran untuk memilih antara yang benar dan yang salah.
Firman Allah Swt. yang lain (Q.S. Al-A’raaf [7]:189) memberikan penjelasan tentang Dia yang menciptakan manusia dari jenis satu, kemudian berpasangan suami istri, agar meraih ketenangan. Saat hamil, maka suami istri sebaiknya memperbanyak doa, memohon keturunan yang shaleh, bersyukur, dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15)
Orangtua mendoakan bayi yang baru lahir agar mendapat perlindungan Allah dan memperoleh keberkahan. Dari Ibn Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memohonkan perlindungan bagi Hasan dan Husain (tatkala dilahirkan). Beliau berdoa: “Aku memohonkan perlindungan dengan kalimah Allah yang sempurna dari segala gangguan setan”. Hadits ini mengajarkan bahwa orang tua harus selalu melindungi anaknya dari segala godaan, gangguan, dan pengaruh negatif setan.
Memberi nama dan meng-aqiqah-kan bayi pada hari ke tujuh sejak dilahirkan adalah anjuran lain yang disampaikan Rasul sebagaimana sabdanya, “Setiap bayi tergadai oleh aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, kemudian menggunduli rambut kepalanya dan memberi nama.” (H.R. An-Nasa’i ). Berdasarkan hadits ini, aqiqah disyari’ahkan pada hari ketujuh. Penyembelihan aqiqah dan menggunduli rambut bayi tatkala berusia tujuh hari berkaitan pula dengan pendidikan tasyakur untuk memberi manfaat pada orang lain.
Ibadah sebaiknya diajarkan kepada anak sejak dini, misalnya dengan memisahkan tempat tidurnya ketika anak telah mengetahui mana tangan kiri dan kanan. Saat usia tujuh tahun, anak sudah siap diperintahkan untuk shalat. “Perintahlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukulah mereka bila tidak mau shalat ketika berusia sepuluh tahun, pisahkanlah di antara mereka tempat tidurnya.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi). Orangtua harus sudah menjelaskan syarat dan rukun shalat, bersih-hadats-najis, menutup aurat, menghadap kiblat, membaca Al-Quran, shalat berjamaah pria berbeda dengan wanita, perbedaan jenis kelamin dalam shalat berjamaah, serta tugas imam dan makmum yang sekaligus melatih jiwa kepemimpinan anak. Masih menurut hadits tersebut, saat anak kemudian berumur sepuluh tahun dan masih juga tidak mau melakukan shalat, maka harus mendapat sanksi pukulan. Maksudnya pukulan di sini adalah peringatan yang agak keras. Hal ini dikarenakan selama hidupnya Rasulullah Saw. tidak pernah memukul. Kalaupun terpaksa anak harus dipukul, maka jangan melakukan pukulan yang menyakiti atau di daerah yang membahayakan jiwanya. Bagaimanapun, mendidik dengan lemah lembut akan lebih efektif. Bila dididik dengan kekerasan, maka anak berperilaku keras, kasar, dan penuh dendam.
Itulah berbagai kewajiban orang tua dalam mendidik anak, mulai dari masih janin sampai anak lahir, tumbuh, dan berkembang. Dalam penjelasan tersebut di atas tidak disinggung mengenai acara 4 atau 7 bulanan. Karenanya, Teteh tak usah mengadakan acara tersebut karena memang hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasul. Wallahu’alam bishawwab.