BANGSA Indonesia patut bersyukur dalam memasuki bulan Ramadan tahun ini, karena memperoleh dua anugerah kebahagiaan. Pertama anugerah dipertemukannya kembali dengan bulan suci, dan kita dapat melaksanakan ibadah puasa. Kedua, anugerah telah berhasil memilih seorang pemimpin yang akan menjadi nakhoda perahu besar yang bernama Indonesia. Jika tidak ada aral melintang, pada bulan suci ini, pemimpin hasil pilihan rakyat akan dikukuhkan.
Seluruh rakyat menitipkan harapan yang tidak sederhana, agar bangsa Indonesia ke depan dapat menemukan kembali kebahagiaannya yang pernah hilang ditelan krisis yang hampir tidak kunjung selesai. Beban itu memang berat. Tapi mulailah segalanya dengan menyebut nama Allah, sebab surga telah menanti sang pemimpin yang layak menjadi panghuni utamanya.
Suatu ketika, Maakol bin Jasar menceritakan kisah seorang pemimpin yang tertolak masuk surga. Menurutnya, seperti disabdakan Nabi saw., “Tidak ada seorang pemimpin yang memimpin sekelompok Muslim, lalu ia mati dalam keadaan suka menipu mereka, kecuali Allah telah mengharamkan baginya surga.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Tugas kepemimpinan, dalam pandangan Islam, merupakan tugas mulia dengan imbalan masuk surga. Bahkan Alquran menyejajarkan seorang pemimpin negara (uli al-amri) dengan para rasul yang mewakili Tuhan di muka bumi. Para pemimpin, seperti halnya juga para rasul, adalah kelompok manusia pilihan yang perintah-perintahnya harus ditaati. Mereka adalah sumber informasi untuk menemukan jalan terbaik yang harus ditempuh para pengikutnya. Mereka adalah semangat dalam menggapai kebajikan sesuai dengan etika dan segala konstitusi.
Sebaliknya, ketika keluar dari keharusan-keharusan yang selayaknya diperankan oleh seorang pemimpin, maka kepemimpinan dapat berubah menjadi simbol yang tak pernah akrab dengan kebaikan. Segala perintahnya tidak memberikan jaminan suasana tenang dan bersahabat. Setiap perilaku politik yang diperankannya senantiasa memancing keresahan dan ketidakpastian. Bahkan seruan yang disampaikannya pun tidak lebih dari pernyataan-pernyataan yang penuh tanda tanya. Pendeknya, seperti diilustrasikan dalam hadis Nabi di atas, kepemimpinan hanya berfungsi sebagai sumber kebohongan dan penipuan.
Tanpa disadari, apa yang dianggapnya baik, ternyata berakibat tidak baik bagi masyarakat yang dipimpinnya. Maka secara teologis, tidak ada balasan bagi seorang pemimpin yang hanya berperan sebagai sumber ketidakpastian itu kecuali Allah telah mengharamkan baginya masuk surga. Seperti digambarkan dalam hadis versi yang lain, “Tidak ada seorang hamba yang telah dibebani tugas memimpin oleh Allah, dan ia tidak pernah menasihati mereka, kecuali ia tidak akan mendapatkan wanginya (keindahan) surga.”
Seperti halnya para Nabi dan Rasul Allah, para pemimpin mengemban misi penyampaian kabar gembira (basyiran) sekaligus pemberi peringatan (nadziran), khususnya bagi umat yang dipimpinnya. Selain kedua misi tersebut, para pemimpin juga berperan sebagai juru bicara bagi masyarakat yang dipimpinnya. Mereka adalah sosok pemimpin umat yang seharusnya mampu mengantarkan masyarakat pada suasana damai, sebagai kekuatan penyejuk yang dapat menciptakan keadaan yang sejahtera dan berkeadilan.
Inilah misi yang seringkali terlupakan oleh para elite pemimpin. Seperti diisyaratkan dalam sejarah kepemimpinan, banyak di antaranya yang lupa akan misi tersebut, hanya karena terkuras pikirannya untuk melanggengkan kekuasaan. Janji-janjinya yang menyejukkan umat, tiba-tiba berubah menjadi ungkapan yang membingungkan dan bahkan menakutkan. Tidak ada lagi ruang yang cukup untuk berlindung, kecuali suasana yang diliputi rasa waswas dan ketidakpastian.
Mereka sesungguhnya telah lupa akan isyarat Nabi, “Tidak ada dari seorang pemimpin yang memimpin urusan Muslim, lalu ia tidak bersungguh-sungguh memperjuangkan dan menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga dengan mereka” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).