Menyikapi Gugat Cerai yang “Tergantung” Empat Tahun

Percikan Iman – Seorang istri terpaksa menempuh gugat cerai karena perimntaan suami. Pasalnya sang suami merasa minder akibat dirinya difabel usai pulih dari perawatan akibat kecelakaan. Namun ketika jalan tersebut sang istri tempuhi, suami tak kunjung memberi keputusan hingga empat tahun berlalu sedangkan hak nafkah pun tak ia peroleh selama itu. 

Bagaimana seharusnya sikap sang istri? Mari kita simak paparan dari guru kita, Ustadz Aam Amirudin dalam sesi Bedah Masalah pada Majelis Percikan Iman, Ahad (18/12) di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari. 

“Berdasarkan hukum,” Ustadz Aam menerangkan, “ketika seorang istri diabaikan oleh suaminya, apalagi tanpa memberi nafkah lahir maupun batin, maka berlaku talak ta’liq.”

Mengutip website kemenag, talak dari segi waktu jatuhnya terbagi menjadi tiga: munajjaz, mudhaf, dan mu’allaq. Talak munajjaz atau mu‘ajjal jatuh pada saat shighat-nya diucapkan. Sedangkan talak mudhaf jatuh pada waktu yang akan datang. Misalnya “nanti malam”, “besok”, “pekan depan”, dan lain sebagainya.  

Adapun talak mu‘allaq atau talak ta‘liq adalah talak yang digantungkan pada terjadinya satu kondisi di masa mendatang. Cirinya,menggunakan kata “jika”, “apabila”, “kapan pun”, dan sejenisnya. Contohnya ungkapan suami kepada istrinya, “Jika engkau pergi lagi tanpa izin, maka engkau tertalak.” Atau, “Jika saya meninggalkanmu selama satu tahun, maka jatuh talak saya kepadamu.” 

Dalam pernikahan yang sah di Indonesia, yakni di bawah naungan Kemenag, biasanya kondisi-kondisi tersebut dibacakan ketika akad sudah disahkan. Namun, meski talak berlaku, itu baru di tataran keluarga. Sedangkan, untuk dapat dinyatakan “sah” di mata hukum negara, salah satu pihak tetap harus menjalani persidangan.

Selengkapnya, isi talak ta’liq ialah sebagai berikut:

“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut: Apabila saya:

  1. Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
  2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
  3. Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
  4. Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;

dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”

“Artinya,” Ustadz Aam melanjutkan paparannya, “Ketika Ibu diabaikan selama 3 bulan, berlaku talak ta’liq. Ibu dapat menggugat cerai ke pengadilan. Datangkan saksi, misal anggota keluarga ibu. Di saat itu, meski suami ibu datang ketika ibu menikah lagi, suami tidak dapat menggugat ke pengadilan.”

Ustadz Aam menjelaskan, sebagaimana menikah, cerai harus ada bukti hukumnya juga. Nikah dengan buku nikah, cerai dengan akta cerai. Akta cerai merupakan pernyataan sah dari negara. Itu karena ketika orang menikah dan belum akta cerai, negara tetap mendeteksi orang tersebut poliandri karena suaminya dua.

“Jadi, kalau cerai dengan hukum negara (ada buku nikahnya), jangan berani-berani menikah lagi tanpa akta cerai. Bahayanya, nanti suami ‘sah-nya’ bisa menuntut ke pengadilan karena tiadanya bukti, meski benar, secara agama sudah cerai,” jelas Ustadz Aam.

Kemudian, yang perlu menjadi perhatian dalam persidangan ialah soal kehadiran para pihak, yakni suami dan istrinya. Misal kondisnya, suami tak menghadiri sidang. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, bila seorang istri menggugat cerai dan suami tak hadir dalam pengadilan perceraian, berarti suami menyetujui.

“Tak hadir, maka menyetujui, itu bahasa hukumnya,” tegas Ustadz Aam. 

Jadi, bila seorang istri merasa dizolimi, dalam kasus ini tak diberi nafkah selama empat tahun, sejatinya sudah berlaku talak ta’liq. Di mata hukum Islam, talak satu sudah berlaku. Namun, jalan persidangan tetap harus ditempuhi agar juga sah di mata hukum negara.  


Tulisan merupakan resume dari materi Bedah Masalah pada Majelis Percikan Iman (MPI) yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amirudin di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari, Ahad (18/12/2022)

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *