Percikan Iman – Jika kita cek para koruptor, menurut Anda mereka orang kaya atau miskin? Ya, siapun dapat melihatnya, mereka semua orang kaya. Namun, kok bisa ya udah kaya masiih aja nyolong uang rakyat? Emang gak cukup apa harta yang dia sudah punya? Mungkin Anda heran, namun, itulah tanda yang namanya “rasa cukup” itu bukan hadir otomatis ketika seseorang sudah memiliki segalanya. Jangankan pejabat, kita lagi makan lotek bisa seketika hilang selera karena liat status teman kita lagi makan sop buntut, terus kepikiran, “jadi pengen”.
Dalam satu bait sya’ir salah satu tim nasyid asal Malaysia, “Saujana” dengan judul “fatamorgana”, kami menemukan beberapa bait yang relate dengan apa yang akan kita bahas. Berikut petikan liriknya,
Apa yang ada jarang disyukuri
Apa yang tiada sering dirisaukan
Nikmat yang dikecap barukan terasa
Bila hilang di dalam genggaman
Apa yang diburu timbul rasa jemu
Bila sudah di dalam genggaman
Dunia ibarat air laut
Diminum hanya menambah haus
Nafsu bagaikan fatamorgana
Indah di mata namun tiada
.
.
.
Waktu punya motor, liat yang punya mobil, Anda berpikir, “Enak ya kayaknya naek mobil, bisa ngobrol sama keluarga sepanjang jalan, menikmati pemandangan, mendengarkan musik, sejuk lagi”. Yang naik mobil LCGC, liat orang lain pakai mobil besar, Anda berpikit, “Asik juga ya naik mobil gede, gagah keliatannya. Terus kalau ada jalan menanjak, dia gak bakal mogok karena mesinnya di belakang”. Padahal, yang di mobil bisa jadi pengen naik motor karena praktis dan murah. Padahal yang di mobil gede sedang berpikir menjual mobil gede-nya, biar lebih hemat sehari-harinya.
Namun, begitulah, “dunia, ibarat air laut”, makin banyak kita meminumnya, bukannya kenyang, namun tambah haus.
Sebetulnya, wajar ketika manusia ada rasa cinta pada dunia. Dengan rasa cinta pada harta, pada jabatan, seseorang jadi bersemangat dalam tugasnya mencari rizki dan juga mengejar prestasi. Dengannya kemudian, manusia dapat beribadah pada Allah Swt. lebih baik. Bukankah zakat mempersyaratkan kecukupan harta dalam jumlah tertentu? Bukankah menikah itu idealnya memuliakan perempuan dengan mahar yang besar? Bukankah kurban memerlukan sejumlah harta setelah terpenuhinya kebutuhan pokok? Belum lagi haji, yang menuntut kemampuan harta seseorang hingga taraf maksimal. Dengan harta, dengan jabatan, seseorang dapat menggunakannya untuk mengejar kemuliaan di hadapan Allah Swt.
Namun, untuk meraih sejumlah harta, seseorang perlu berjuang dan berkorban. Mengorbankan waktu-waktu istirahatnya, mengorbankan kenikmatan saat ini, kemudian menundanya untuk kenikmatan berkali lipat di masa depan, di akhirat nan abadi?
Allah Swt. dalam banyak ayatnya, mengajarkan kita spirit untuk “menunda kesenangan”, bekerja keras dan menghindari berleha-leha atau berfoya-foya, demi masa depan yang lebih cerah, bahkan bukan saja untuk kebahagiaan di dunia, melainkan juga untuk kebahagiaan di akhirat. salah satunya dalam Qur’an, surat Ghafir ayat 39,
يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Hai, kaumku! Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanya kesenangan sementara dan akhirat itu negeri kekal.
Juga dalam Qur’an, surat Ali Imron ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Telah ditanamkan pada manusia rasa indah dan cinta terhadap wanita, anak-anak, harta yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan lahan pertanian. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
Masalahnya, manusia itu cenderung memilih kesenangan instan. Wajar, karena manusia itu cenderung pada kenyamanan dan ketika dilanda ketegangan, dia ingin segera melepaskannya, yang dalam ilmu psikologi, fenomenanya dikenal dengan “Instant gratification”. Makannya, ketika Allah Swt. berikan waktu luang sedikit saja, seseorang cenderung membuka ponselnya, kemudian mencari kesenangan instan yang ada di sana, “scrolling” reels atau tiktok, atau “windows shopping” di pasar elektronik.
Scrolling atau windows shopping itu halal, hanya sering kali seseorang terjebak di sana, sampai-sampai ada yang lupa dengan kewajibannya. Lupa kalau lagi masak sampai kegosongan, lupa ngetik laporan sehingga pekerjaan tak selesai tepat waktu. Padahal, kalau saja seseorang mampu menahan “hawa nafsu” atas kesenangan instan, bisa saja dia tetap melakukannya sebagai “hadiah” di waktu yang lebih baik, setelah kewajiban atau tanggung jawab tertunaikan.
Itu baru contoh kecil yang siapapun di zaman ini bisa jadi sulit menghindarinya.
Tentu semakin baik fasilitas yang dimiliki seseorang, skala gangguan dan dampaknya juga berbeda. Yang sebelumnya hanya melihat, orang dengan fasilitas keuangan yang lebih baik, mungkin langsung membeli. Lewat iklan martabak, langsung beli. Padahal saat itu sudah jam 12 malam. Kalau gak punya uang, seseorang bisa menahan diri dan cukup dengan memasukkan ke keranjang kuning, namun tidak ketika memiliki uang. Dampaknya, saat tidur, badan bukannya istirahat malah harus bekerja dan akibatnya berdampak pada metabolisme tubuh.
Itu pun baru contoh dalam skala dunia yang dampaknya pada kesehatan di masa depan. Belum lagi kalau kita berbicara urusan akhirat. Menunda kesenangan dunia, padahal segala punya, demi kebahagiaan akhirat.
Masalah baru mencuat di masyarakat, manakala fasilitas “kredit” atau “cicilan” kian mudah diakses. Kapanpun, seseorang dapat mengajukan kredit dengan mudahnya. Seolah-olah, dia bisa memiliki apapun, dalam kondisi ekonomi yang melarat sekalipun, meski pendapatan masih pas-pasan, seseorang bisa membeli barang “mewah”. Meski gaji UMR, seseorang akhirnya bisa punya ponsel mewah harga puluhan juga modal KTP. Dia lupa, sebagian gajinya akan terpotong untuk melunasi ponselnya tersebut, padahal ponsel lamanya masih berfungsi dengan baik. Hanya, gengsi sulit sekali ditahan sementara fasilitas kredit begitu mudahnya.
Bukan berarti berhutang itu gak boleh, hanya jangan sampai berhutang karena “gaya”
Mari kita fokus bukan pada benda-nya, melainkan “kebaikan” yang terkandung di dalamnya. Meski ponsel belum secanggih yang terbaru, Anda masih dapat menggunakannya untuk berkoordinasi dengan rekan kerja, masih bisa bersilaturahim dengan orang tua. Bisa jadi ponsel canggih, malah melalaikan dengan kita bermain gim atau scrollling IG lebih lama lagi. Dengan begitu, ponsel Anda yang ada sekarang, bisa jadi nilainya lebih baik di sisi Allah Swt. Begitupun dengan kendaraan, rumah, atau apapun benda yang Anda miliki. Itulah maksud dari do’a yang kami yakin Anda semua sudah hafal,
Allah Swt. berfirman dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 201,
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Di antara mereka juga ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
Anda boleh bercita memiliki rumah lapang, harta melimpah nan berkah, benda-benda mewah, namun ingat, pada akhirnya, Allah Swt. juga yang menentukan kadarnya untuk setiap orang. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al Isra ayat 30,
اِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗاِنَّهٗ كَانَ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا ࣖ
Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki dan membatasinya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
Karena Allah Swt. sudah menetapkan kadar rizki setiap orang, seharusnya seseorang tak perlu menempuh cara-cara yang dapat membahayakan dirinya. Salah satunya ialah berhutang karena “gaya” hidup. Fokuslah pada manfaat atau kebaikan suatu benda sehingga berdampak positif, bagi keberlangsungan hidup kita di dunia hingga berkontribusi menyelamatkan kita di akhirat. Dengan langkah-langkah tersebut, mudah-mudahan dapat meredam “keinginan” pada benda-benda di luar batas kapasitas kita, terutama dengan cara-cara instan.
Kemudian, bungkus dengan do’a,
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf (terhormat), dan ghina (rasa cukup).
Wallahu a’lam bi shawwab
___________
Materi ini, dikembangkan berdasarkan materi yang Ustadz Aam sampaikan pada Majelis Percikan Iman, di Masjid Peradaban Arjasari, selama bulan Mei 2024