Percikan Iman – Pernahkah Anda malah merasa bersalah setelah bersedekah? Biasanya terjadi saat kamu belakangan tahu bahwa sedekah yang Anda berikan, ternyata digunakan oleh sang penerima tidak sesuai yang Anda pikirkan atau ternyata sang pengemis ternyata bukan orang miskin, melainkan orang yang berprofesi sebagai pengemis dan penghasilannya lebih dari mencukupi.
Saat Anda sedang main dengan keluarga di Pertokoan di sekitar alun-alun Kota Bandung dan terdengar Adzan, seketika Anda memenuhi panggilan shalat. Saat itu, waktunya shalat Ashar. Anda pun berjalan menuju masjid. Dalam perjalanan, Anda melihat seorang pengemis yang mengulurkan tangannya. Terlihat sekilas, kakinya penuh lilitan perban, di sampingnya tergeletak penyangga bahu. Hati Anda terketuk, dan uang anggaran untuk bayar toilet Masjid pun seketika berpindah tangan.
Jadilah karena itu, Anda terpaksa membayar dengan pecahan Rp 100 ribu saat keluar dari toilet. Saat Anda memberikannya, sesuai dugaan, penjaga toilet menerimanya dengan wajah agak judes. Wajar, pecahan tersebut, membuatnya harus menguras stok uang receh yang ia punya. Qadarullah, mungkin saat itu, Anda adalah orang yang kesekian kali sehingga ia agak kesulitan mencari kembalian. Akhirnya, dia memberikan kembaliannya pada Anda dengan wajah terlipat.
Akibatnya, Anda pun jadi ikutan kesal, dan muncul sedikit penyesalan karena sudah memberikan uang dua ribuan untuk pengemis tadi.
Usai shalat Ashar, Anda dan keluarga memutuskan untuk pindah ke destinasi berikutnya. Anda pun berjalan menuju parkiran mobil. Saat Anda akan membuka pintu mobil, qadarullah mata Anda tiba-tiba tertuju pada pemandangan yang sulit Anda terima. Di dekat mobil LCGC berwarna putih, Anda melihat sosok yang familiar karena di sampingnya ada tongkat penyangga bahu. Setelah Anda mempertajam penglihatan Anda, Anda yakin bahwa dia adalah sosok pengemis yang berhasil “memikat” Anda yang berakibat pada tak ada uang pas untuk bayar toilet.
Seketika Anda merasa tertipu. Rupanya, dia bukan orang miskin yang benar-benar membutuhkan uluran tangan orang lain, tapi “aktor kawakan” dengan riasan yang mumpuni, yang berperan menjadi pengemis. Sedangkan Anda memberi pengemis tersebut karena “kasihan”.
Kalau Anda pernah mengalami pengalaman serupa, yakinlah di luar sana banyak yang senasib dengan Anda. Bahkan, beberapa ceritanya bisa kita temukan di internet.
Salah satunya pengemis di Provinsi Jakarta, yang beberapa waktu lalu ramai di jagat maya. Diberitakan, yang bersangkutan mendapatkan penghasilan hingga Rp 11 juta perbulan. Tak hanya itu, ia juga memiliki rumah tiga lantai. Akibatnya, pengemis lansia tersebut diamankan Dinas Sosial (Dinsos) Pemprov DKI Jakarta. Dia meminta-minta dengan modus untuk membeli obat.
Yang berikutnya, merupakan informasi lama. Seorang pemuda mengemis dan berhasil mengumpulkan uang hingga Rp 150 – 200 ribu sehari. Yang mengecewakan, uang yang ia kumpulkan tersebut bukannya ia gunakan untuk makan, malah ia gunakan untuk hiburan di tempat karaoke, lengkap dengan pemandu lagu-nya.
Apakah Anda menyesal? Wajar jika muncul rasa penyesalan atau kecewa. Bagaimana tidak, ketika Anda melihat wajahnya, yang terbayang adalah kesulitan yang dialami oleh sang pengemis. Baju kumal, compang-camping, malah sebagian terlihat pincang, bahkan tak punya anggota tubuh tertentu. Karena kasihan, Anda memberi pengemis tersebut dengan harapan dapat ia gunakan untuk makan. Rupanya, tak sesuai bayangan. Bahkan, bisa jadi penghasilannya jauh lebih besar dari penghasilan Anda.
Namun, sebelum Anda menyesali niat baik Anda, alangkah baiknya jika Anda perhatikan kabar dari Rasulullah Saw., bahwa kemuliaan itu tidak terletak pada kepemilikan harta, namun pada harta yang diberikan.
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.” (muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no.1053 ; 124)
Lagipula, setiap amalan itu tergantung niatnya. Terlepas apakah pengemis tersebut menggunakannya untuk apapun, apa yang kita dapatkan dari Allah Swt. sesuai dengan niat kita. Jika niat Anda memberi pengemis tersebut adalah karena kepedulian akan kondisi mereka, dan Anda berharap dapat sedikit meringankan beban mereka, Insya Allah, “bayaran” yang akan Anda dapatkan dari sisi Allah Swt. sesuai dengan yang Anda niatkan tersebut, meski kenyataanya, pengemis tersebut menggunakan uang pemberian Anda untuk bermaksiat.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)
Namun, untuk selanjutnya, sebagaimana guru kita, Ustadz Ali Nurdin pernah sampaikan, “Memberi itu jangan mengandalkan rasa kasihan”. Rasa kasihan juga harus disertai dengan akal sehat. Jangan sampai, niat membantu tapi malah mencelakakan orang lain. Ingat, meminta-minta itu sama dengan merendahkan diri di hadapan manusia. Rasulullah Saw. melarang umatnya meminta-minta, kecuali karena terpaksa.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17508),
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، وَيَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ حُبْشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ»
Yahya bin Adam dan Yahya bin Abi Bukair menuturkan kepada kami, mereka berdua mengatakan, Israil menuturkan kepada kami, dari Abu Ishaq, dari Hubsyi bin Junadah radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meminta-minta padahal ia tidak fakir maka seakan-seakan ia memakan bara api”. (Dikeluarkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (no. 2446), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar (no. 3021), dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (no. 3506), semuanya dari jalan Israil.
Namun, jangan sampai Anda juga menyalahgunakan hadits ini. Dengan alasan orang meminta itu “merendahkan diri” atau “memakan bara api”. Dalam Qur’an, surat Ad-Dhuha, ayat 10, Allah Swt. melarang kita menghardik orang yang meminta-minta.
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.”
Hanya saja, alangkah baiknya kalau kita selektif dalam memberi. Bisa jadi, di antara mereka yang meminta itu, memang ada yang benar-benar membutuhkan, sedangkan mereka amat malu untuk meminta-minta. Bisa jadi dia bergelar sarjana, namun mereka belum mendapatkan kerja dan mereka sudah berusaha. Namun, karena sudah tidak makan beberapa hari dan tidak terdeteksi sebagai penerima bansos pemerintah, terpaksa ia meminta-minta.
Selektif memberi juga bisa jadi jalan pembuka agar kita bisa menjaga keikhlasan kita lebih baik. Bisa memberi tanpa pertimbangan, tentu itu cita-cita orang beriman. Namun, bukankah perasaan kita akan lebih terjaga jika harta yang kita titipkan benar-benar bisa memperpanjang kebaikan kita?
Wallahu a’lam bi shawwab