Percikan Iman – H-1 lebaran sudah sewajarnya muslimin di Indonesia sudah di perjalanan menuju kampung halaman. Sebagian lagi sudah tiba dengan selamat. Sebagian lainnya, ada yang sampai bela-belaan shalat id di perjalanan, berangkat mudik di hari-H berharap kemacetan sedikit terurai.
Namun, ada sebagian orang lagi yang pastinya tak terberitakan di televisi. Ialah mereka yang malah membuat arus lain, yakni mereka yang malah hadir MPI di momen tersebut.
Bukan karena tak rindu kampung halaman, bukan berarti tak rindu orang tua di kampung. Bisa jadi sebagian mereka juga memang kampung halamannya ada di sekitaran Bandung. Tetap saja, mereka termasuk rombongan “mudik” ke MPI.
Ketika guru kami, Ustadz Aam Amirudin menetapkan MPI akan tetap dilaksnakan H-1 lebaran, penulis sempat berasumsi, “Bisa-bisa MPI sepi nih.” Di sisi lain, selaku pelayan jama’ah, kami pun terancam menunda mudik.
Belum lagi, guru kita menghendaki MPI serangkai dengan shalat Ied.
Untuk MPI, kekhawatiran kami bukan tanpa alasan. Namun, bercermin pada empat episode MPI sebelumnya, masjid Peradaban sampai penuh oleh jama’ah. Tercatat, rata-rata jumlah jama’ah yang hadir mencapai dua ribu-an orang.
Untuk alasan yang sama, rekan-rekan panitia akhirnya memaksa diri menunda pemenuhan rindu. Bayangan opor buatan nenek atau ibu, terpaksa kami simpan sementara. Baju lebaran yang sudah terlanjur kami beli, mau tak mau tersimpan di tas-tas kami, bukan di lemari-lemari kami.
Namun, Masya Allah, sekitar enam ratus-an jama’ah berduyun-duyun menghadiri undangan majelis ilmu. Arah mudik menuju kampung halaman teralihkan.
Bagi kami, tatap muka dengan jama’ah merupakan “uang muka” yang pantas untuk menikmati pertemuan dengan keluarga kami saat pulang ke rumah. Ada kebahagiaan tersendiri ketika kami melihat jama’ah berduyun-duyun menghadiri MPI melampaui ekspektasi kami.
Tak hanya sampai di situ, bagi penulis, berlebaran bersama keluarga besar Percikan Iman juga menghadirkan rasa bahagia yang baru. Rasanya, tak kalah mengharukan ketika kami harus merasai rindu pada orang terdekat sedikit lebih lama.
Bisa jadi ini merupakan sebentuk bukti ikatan cinta yang kuat antara murid dan gurunya. Bisa jadi ini merupakan sebentuk tanda ikatan rindu yang kuat pada majelis ilmu yang sempat tertunda selama dua tahun sebelumnya.
Bisa jadi juga, ini merupakan sebentuk kerinduan pada kampung halaman yang sejati, yakni surga-Nya. Bukankah Rasulullaah S.A.W. sudah mengabarkan pada kita, siapa saja yang menempuhi jalan untuk menuntut ilmu, akan Allah mudahkan jalannya menuju syurga?
Sahabat, mari kita ramaikan kembali taman-taman syurga kita pada 15 Mei mendatang.
Semoga kecintaan kita pada majelis ilmu, berlelah menujunya, menjadi bekal kala kita mudik kita ke haribaan-Nya, ke kampung halaman kita yang sejati. Dengan cinta-Nya menuju tempat kakek buyut kita, Adam A.S. “dilahirkan”.