Di tengah pro dan kontra tentang kesesatan Ahmadiyah, sepertinya kisah pengakuan mantan mubaligh Ahmadiyah ini akan lebih membuka mata dan hati kita untuk mengetahui secara benar letak kesesatan jamaah Ahmadiyah ini. Sehingga, umat akan memahami dan tidak menduga-duga sesat atau tidaknya ajaran Mirza Ghulam Ahmad dari India ini. Berikut pengakutan Ustadz H. Ahmad Hariyadi kepada MaPI.
***
Pada 1971, saat berusia 19 tahun, adalah awal saya mengenal Ahmadiyah. Saya mendatangi cabang Ahmadiyah Surabaya. Di sana, saya mendapat sepuluh buku mengenai ajaran Ahmadiyah. Suatu saat, saya juga bertemu dengan salah seorang pemuda Ahmadiyah asal Pakistan. Pria itu memberi saya sebuah buku karangan Mirza Ghulam Ahmad. Tidak itu saja, pria tersebut mengajarkan secara detail mengenai ajaran Ahmadiyah. Pada dasarnya, saya tertarik masuk Ahmadiyah karena penasaran pada kesesatan Ahmadiyah yang dilontarkan kaum muslim kebanyakan.
Sebelum masuk Ahmadiyah, saya tergolong sosok orang yang sedang mencari kebenaran agama Islam. Beberapa aliran seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Lembaga Dakwah Islam Indonesia) LDII, dan lainnya telah saya masuki dan pelajari. Bahkan, beberapa ulama telah saya temui. Di antaranya adalah Buya Hamka dan Muhammad Natsir. Namun, pencarian itu saya rasa masih belum memuaskan rasa penasaran saya dalam mencari jawaban atas pertanyaan apakah Nabi Isa masih hidup atau sudah mati? Apakah nanti akan datang nabi (sesudah Nabi Muhammad Saw.)? Apakah benar Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi atau sebagai Nabi Isa yang dijanjikan?
Untuk membuktikan Ahmadiyah sesat, saya harus masuk dan mempelajari ajarannya. Tapi ternyata, rasa penasaran saya berbuah suka dan akhirnya tertarik. Di samping itu, saya merasa kagum melihat organisasi Ahmadiyah sebagai organisasi dunia. Saya tertarik pada pendirinya yang dikenal sebagai Imam Mahdi atau Isa yang dijanjikan. Ini yang tidak ada pada kelompok-kelompok Islam lainnya.
Secara logika, kekaguman saya terhadap Ahmadiyah bukan sebatas pada isi dan ajaran Ahmadiyah, tetapi juga metode dan strategi aliran Mirza Ghulam Ahmad yang mampu menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa dan organisasi dan telah tersebar luas serta mendunia sehingga memiliki khalifah dunia yang bertanggung jawab atas semua organisasi yang tersebar di seluruh dunia.
Sebelum dibaiat (resmi menjadi anggota Ahmadiyah), saya harus bersedia menjalankan 10 syarat. Salah satunya, menyatakan kesediaan diri untuk setia dan loyal terhadap sesama anggota Ahmadiyah, terutama pada pimpinan (Mirza Ghulam Ahmad). Dianggap bisa melaksanakan syarat-syarat itu, saya pun resmi dibaiat dengan mengisi formulir pendaftaran. Dalam formulir itu ada shalawat yang ditujukan bukan untuk Nabi Muhammad, tetapi untuk Mirza Ghulam Ahmad. Setelah resmi, saya masih harus menjaga amanah yang dipesankan yang salah satunya adalah tidak boleh menikah dengan orang yang bukan Ahmadiyah. Di kalangan Ahmadiyah, non-Ahmadiyah adalah kafir.
Sepekan setelah dibaiat, ada pertemuan tahunan pemuda Ahmadiyah se-Indonesia di Jakarta. Saat itu, saya menang juara satu lomba pidato. Melihat potensi tersebut, lantas para pimpinan Ahmadiyah mengangkat saya menjadi mubaligh junior dan akan disekolahkan ke Pakistan (pusat Ahmadiyah dunia sebelum pindah ke London) untuk dididik menjadi mubaligh internasional.
Ketika saya dinyatakan siap berangkat, di Pakistan ketika itu ada huru-hara besar antara kaum muslim dengan Ahmadiyah. Niat ke Pakistan pun diurungkan dan akhirnya pimpinan mubaligh Ahmadiyah pusat Indonesia mengatakan agar saya diangkat menjadi mubaligh senior dan tugas pertama saya sebagai mubaligh adalah di Medan. Setelah dua tahun di Medan, saya dipindahkan ke Jakarta. Setelah itu, dipindah lagi ke Bali selama enam bulan dan terakhir ke Lombok, NTB, pada 1983.
Saat bertugas di Lombok, ada instruksi dari khalifah Ahmadiyah dunia. Dia menginstruksikan pada jamaah Ahmadiyah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk memiliku target jumlah jamaah. Untuk mengejar target itu, pusat Ahmadiyah Indonesia membuat moto, “Tiada hari tanpa tabligh (dakwah).” Sejak saat itu, diinstruksikan kepada setiap jamaah untuk melakukan dakwah minimal pada satu orang setiap harinya.
Bagi saya, menjadi pendakwah di Ahmadiyah itu amat sejahtera sebab segala macam kebutuhan dan kesejahteraan hidup kami ditanggung. Hal ini yang membuat saya bersemangat untuk terus mendakwahkan ajaran-ajaran Ahmadiyah. Tugasnya ringan, memberikan ceramah kepada anggota Ahmadiyah dan mengajak umat Islam masuk ke ajaran Ahmadiyah.
Bila membaca sejarahnya, Allah Swt. menewaskan Mirza Ghulam Ahmad karena sumpahnya sendiri di suatu mubahalah dengan Syeikh Tsanaullah, salah satu ulama yang berusaha keras untuk mengajaknya bertobat dan menentang dakwah sesatnya. Merasa terganggu dengan usaha Syeikh Tsanaullah, Mirza berdoa dengan mengatakan, “Wahai Allah Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas Nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku. Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti thoun, kolera, atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.”
Ternyata, Allah mendengar doanya. Setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah doa itu, pada 26 Mei 1908, Mirza Ghulam Ahmad dibinasakan oleh Allah dengan penyakit kolera yang diharapkannya menimpa Syeikh Tsanaullah. Sedangkan, Syeikh Tsanaullah masih hidup sekitar 40 tahun setelah kematiannya.
Kisah mubahalah pimpinan Jamaah Ahmadiyah itu mirip dengan yang pernah saya lakukan. Bedanya, saya segera bertobat dan mengakui kesesatan saya. Inilah kisa saya keluar dari ajaran sesat ini.
Waktu itu saya bertugas di Lombok Timur, NTB. Di sinilah saya merasa sangat percaya diri untuk mengajak umat Islam masuk Ahmadiyah. Melihat kondisi wilayah dan umat Islam di sana, saya yakin bisa menyampaikan dakwah secara efektif. Selain memberikan ceramah-ceramah kepada jamaah Ahmadiyah, saya juga sering mengadakan diskusi, seminar, dan berbagai hal yang berkaitan dengan startegis dakwah kepada umat Islam. Bahkan, saya juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para ulama setempat. Tapi, dari sekian diskusi tersebut, saya merasa tidak ada satu pun ulama yang memercayainya. Saya pun menyebarkan pamflet dan mengunjungi tujuh puluh ulama, tetapi tetap saja semua ulama tersebut tidak ada yang tertarik dengan Ahmadiyah. Lantas, saya pun mulai bimbang dengan ajaran Ahmadiyah ini.
Meski demikian, usaha saya untuk meng-Ahmadiyah-kan para ulama dan ustadz tersebut masih berlanjut. Bahkan, saya pun menantang mereka untuk ber-mubahalah meski tidak seorang pun yang mau meladeni. Selang beberapa waktu, saya diundang oleh ustadz H. Irfan, seorang ulama pimpinan pesantren yang kurang terkenal yang bersedia berdiskusi dan berdebat keras soal Ahmadiyah. Diskusi tersebut tidak menemukan titik temu dan akhirnya kami sepakat melakukan mubahalah atau perang doa.
Perjanjiannya, kalau selama tiga bulan lawan saya, yaitu Ustad H Irfan tidak diazab oleh Allah Swt., berarti saya kalah dan saya bersedia dipotong leher. Sementara itu, H. Irfan juga mengatakan bersumpah kepada Allah Swt. bahwa kalau memang benar Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, dia bersedia diangkat nyawanya oleh Allah dengan cara yang mengerikan sehingga diketahui banyak orang. Kesepakatan mengenai sumpah itu ditulis dalam selebaran dan disebarkan ke Lombok Barat, Timur, dan Lombok Tengah.
Dua bulan berlalu dan ustadz Irfan masih sehat. Saya pun lantas mengirim surat kepada khalifah Ahmadiyah di Pakistan. Surat itu dibalas dan seruan agar saya bersikap tenang seraya ditugaskan untuk menyembelih 13 ekor domba agar Ustadz Irfan wafat. Hingga seminggu menjelang batas tiga bulan sesuai perjanjian, saya mendapat kabar dari anak buah saya yang menyatakan bahwa H. Irfan dalam keadaan sehat. Terang saja saya kalut, tetapi saya tetap percaya diri dan meyakini bahwa pertolongan Mirza Ghulam Ahmad akan datang melalui rohnya.
Saya tetap yakin bahwa tepat di hari yang ditentukan, H. Irfan akan terkena penyakit karena azab dari Allah. Namun, tepat di hari H, Ustadz Irfan tetap sehat wal afiat. Artinya, saya telah kalah dalam perang doa itu. Saya kemudian mendapat surat kedua dari khalifah Ahmadiyah untuk segera kabur, melarikan diri dari Lombok. Namun demikian, saya menolak karena itu adalah perbuatan pengecut.
Dua pekan pasca hari H, Ustadz Irfan dan anak didiknya datang. Dia berkata, “Saya ke sini untuk dua hal. Pertama, silaturahim. Kedua, menagih janji Anda untuk memenggal leher.” Saya pun bersedia dan meminta Ustadz Irfan sendiri yang memenggal leher saya. Namun, Ustadz Irfan menolak dengan alasan tidak membawa pisau. Lantas, saya memberi pisau dapur kepada ustadz Irfan untuk memotong leher saya. Namun, tiba-tiba datang pihak berwajib untuk menangkap kami berdua dengan alasan telah membuat huru-hara dengan membagikan selebaran berisi taruhan penggal kepala. Sejak saat itu, keyakinan saya terhadap ajaran Ahmadiyah mulai turun hingga tidak sampai 50 persen. Keraguan itu berjalan dua tahun hingga akhirnya saya berkesimpulan bahwa Ahmadiyah tidak benar. Lalu, saya pun pergi belajar dan memperdalam ilmu agama ke Malaysia dan Brunei Darussalam pascakeluar dari tahanan.
Di Malaysia, saya bertemu dengan seorang ulama yang mengajak saya ke Kuala Lumpur. Di sana saya ditugaskan untuk mengajar Bahasa Arab dan Nahwu-Sharaf di sebuah pesantren. Setelah itu, saya yakin bahwa Ahamadiyah adalah ajaran yang sesat. Selanjutnya, selama dua tahun saya melakukan perenungan diri. Akhirnya, saya memutuskan keluar dari Ahmadiyah pada 3 April 1986.
Setelah keluar dari Ahmadiyah, saya pun menantang khalifah keempat Ahmadiyah, Tahir Ahmad, yang merupakan pemimpin Ahmadiyah dunia untuk melakukan mubahalah seperti yang saya lakukan dengan Ustad H. Irfan. Tantangan saya pun diterima. Sampai sekarang alhamdulillah saya sehat wal afiat dan bahkan bisa menulis sejumlah buku. Sementara, karena memang sudah takdir Allah Swt., beberapa saat setelah mubahalah, khalifah Keempat tersebut meninggal dunia di sebuah tempat pelarian di London. Saya tidak pernah mendoakan jelek pada dia. Namun, itu semua sudah takdir-Nya.
Sebelum kejadian tersebut, saya sempat tiga kali berusaha menemui khalifah keempat tersebut. Namun, dia tidak mau menerima saya. Sejak saat itu, pusat Ahmadiyah pindah dari Pakistan ke London karena dilarang oleh pemerintah setempat. Akhirnya, saya mengadakan jumpa pers di London mengenai pendustaan khalifah dan ketidakbenaran ajaran Ahamdiyah. Saat itu sedang terjadi unjuk rasa di London. Sebanyak 15 ribu muslim London meminta pembubaran Ahmadiyah. Itu terjadi pada 1997.
Sebagai mantan mubaligh Ahmadiyah, saya kini sering memberikan dakwah, khususnya memberikan pencerahan dan memberikan fakta-fakta nyata atas ketidakbenaran Ahmadiyah. Saya berharap agar seluruh umat Islam memahami Ahmadiyah secara utuh agar mengetahui dan memahami bahwa ajaran yang dibawa Ahmadiyah itu jelas-jelas telah melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. [Ahmad]