Percikan Iman – “Pilu, terlanjur Kritis Diamuk Massa, Bacaleg Lombok Barat Ternyata Difitnah Rudapaksa Anak Kandung”, begitu tulis salah satu media di salah satu judul berita-nya. Begitu kejamnya fitnah, karena satu tuduhan, seseorang hampir mati. Saking bahayanya melakukan fitnah, Allah Swt. telah menetapkan ketentuan hukuman berat bagi pelakunya, yakni 40 – 80 kali cambukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ftinah adalah “perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)”.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).
Di masa-masa menjelang pemilu, sudah lazim kita menemukan obrolan atau informasi seputar calon pejabat negara. Mulai dari yang sifatnya kinerja, hingga personal. Hal ini patut diwaspadai karena bisa jadi, niat kita mencari pemimpin yang terbaik, malah bercampur aduk dengan dosa tanpa kita rasakan. Membicarakan keburukan dalam hal kinerja, itu perlu. Namun, jika sudah masuk ranah personal, misal soal ibadahnya, itu sudah masuk kategori ghibah yang dilarang.
Apalagi, dengan adanya media sosial atau media obrolan, tak ada lagi sekat ruang dan waktu. Di manapun, kapanpun, peluang kita melakukan dosa ghibah, bahkan fitnah kian terbuka lebar. Sayangnya, kalau sudah terlalu asik, tanpa terasa, dalam obrolan atau ruang interaksi kita, masuk informasi yang belum jelas kebenarannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. “Jika (keburukan yang kita bicarakan itu) tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya”.
Rasulullah Saw. sendiri merupakan salah satu korban fitnah yang dilontarkan oleh musyrikin Mekah yang dengki dengan beliau. Beliau difitnah sebagai “penyihir”, “Al-Qur’an sebagai mimpi bohong”, “bersekutu dengan jin”, dan “orang gila”. Tuduhan-tuduhan tersebut dapat berakibat orang-orang yang tadinya mulai ada simpati atau penasaran dengan ajaran beliau menjadi antipati atau menjauh. Begitulah memang tujuan musuh-musuh dakwah Nabi.
Satu sisi, sirah tersebut memberi kisi-kisi ujian pada kita, bahwa dalam hidup, akan ada saja orang yang membenci kita, kemudian membicarakan keburukan kita, hingga memfitnah kita. “Wong Rasulullah Saw. saja yang notabene kekasih Allah Swt. dibegitukan kok”. Ya, apalagi kita. Namun, di sisi lain, fitnah itu juga menjadi indikator jika kita sudah berada di jalan yang benar. Itu lantaran, dalam Islam, bahkan dalam peperangan, kita tetap harus berbicara benar, tidak boleh memfitnah atau menyampaikan berita bohong.
Namun, di antara berbagai fitnah yang tertuju pada Rasulullah Saw, yang nampaknya paling menyakitkan ialah fitnah yang ditujukan oleh kaum munafikin pada bunda Aisyah Ra. Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan “Hadiistul Ifk” atau berita bohong/ palsu. Kali ini, bunda Aisyah Ra. nan suci, difitnah melakukan perselingkuhan. Naudzubillahi min dzaalik. Isu perselingkuhan, sampai saat ini pun tetap menjadi isu paling seksi, siapapun mudah untuk terbawa arus. Bahkan, saat itu, ada beberapa kalangan sahabat yang juga sampai terbawa arus tersebut.
Di balik musibah yang besar, ada hikmah yang besar pula. Melaui peristiwa ini, Allah Swt. memberikan kita pelajaran yang amat berharga, betapa berbahayanya fitnah. Jangan sampai kita menjadi pelakunya. Agar kita terjauh dari perilaku tersebut, agar kita tidak sampai meremehkan perilaku tersebut, Allah Swt. telah menetapkan hukuman yang berat bagi pelakunya.
Dalam bahasa Arab, kata fitnah terkandung dalam beberapa istilah;
- Qodzaf, yang berarti menuduh tanpa bukti (Qs. An-Nur: 23)
- Buhtan, kebohongan besar (Qs. An-Nur: 16)
- Ifk, berita bohong (Qs. An-Nur: 11-12)
Dalam Al-Qur’an, surat An-Nur ayat 4, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik berzina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali. Jangan kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang fasik.
Itu baru ancaman hukuman di dunia, di akhirat nanti, pun sudah tersedia hukuman yang amat berat. naudzubillahi min dzaalik.
Masih dalam Al-Qur’an, Surat An-Nur ayat 19, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Sesungguhnya, orang-orang yang menginginkan berita bohong itu tersiar di kalangan orang-orang beriman akan mendapat azab pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Hukuman berat tersebut menggambarkan betapa berbahayanya fitnah dan agar kita jangan coba-coba sekalipun melakukannya. Apalagi, jika perilaku tersebut dapat kita lakukan tanpa sadar karena menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari.
Di sinilah pentinya kita menjaga lisan atau menjaga jari kita, agar jangan sembarangan meng-iya-kan informasi dari sumber yang belum jelas, apalagi menyebarkannya.
Sebagai penutup, mari kita coba hayati hadits dari Rasulullah Saw. berikut ini,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no. 2988)
_____
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman di Masjid Peradaban Percikan Iman, pada Ahad, 12 November 2023