Percikan Iman – “Kenapa ya dari anak kecil sampai sekarang dia udah nikah, kita gak pernah akur?” begitu tanya salah seorang Ibu pada guru kita, Ustadz Aam Amirudin. Dengan simpel-nya, guru kita menjawab, “Muhasabahlah.. Bisa jadi, anak seperti itu karena perilaku Ibu sama kerasnya dengan anak Ibu.”
Pertanyaan serupa juga pernah terlontar pada Umar bin Khathab. Diceritakan, seorang sahabat lainnya, datang menghadap Umar seraya membawa anaknya. Ia kemudian mengadu pada Umar perihal anaknya, yang ia nilai durhaka. Mendengar cerita tersebut, Umar mengingatkan beberapa hak anak, seperti, mulai dari memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang baik, memberi nafkah dengan pantas, mendidik dengan akhlak yang baik, dan mengajarkan ilmu sebagai bekal hidupnya.
Demi mendengar uraian Umar, sang anak merespon, ”Aku tak mendapatkan satupun hak tersebut. Ibu saya tak jelas asal-usulnya, terus perangainya buruk. Sejak kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan menggembala ternak, dan pernah juga saya dipertontonkan adegan pertengkaran mereka yang tiada henti. Terus, tak jarang, perkataan kotor saya dengar keluar dari mulut mereka.’Kemudian, jangankan diajari ilmu, saya hanya memperoleh dampratan dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya.”
”Apa benar demikian?” tanya Umar dengan nada marah seraya berkata dengan tegas, ”jika benar demikian, sungguh engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas mendapat hukuman atas kesalahan ini,”
Sahabat, selaku orang tua, sewajarnya kita lelah dalam menjalankan peran selaku orang tua. Beban pengasuhan juga pendidikan otomatis kita sandang seketika anak lahir. Bagi yang menjadi Ibu, selama dua tahun harus menyusui, baik malam (di waktu istirahat) maupun siang hari. Tentu akan lebih repot bagi Ibu yang juga harus bekerja. Begitupun yang menjadi Ayah, harus sebisa mungkin membantu istrinya. Mengambil alih pekerjaan rumah-tangga atau sekadar menggantikan popok anak.
Semakin bertambah umur, bentuk tanggung jawab pada anak pun berkembang. Pendidikan secara langsung maupun dengan fasilitas sekolah, menuntut sahabat menguras kantong dalam-dalam, juga menguras energi hingga habis. Begitulah setidaknya, yang sahabat alami. Namun, tak jarang, anak yang kita besarkan, di usia remajanya, malah menjadi “musuh utama” kita yang menjadi orang tuanya. Jangankan mendengar, dia malah membantah, bahkan melawan kita. Dengan nada keras. Rasanya begitu menyakitkan.
Sayangnya, mesti pahit, kita mesti memahami, modal perilaku dasar seorang anak itu berasal dari kita yang menjadi orang tua-nya. Secara eksplisit, Rasulullah Saw. sudah menyampaikannya dalam salah satu hadis yang masyhur.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi..” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Setiap anak itu pada dasarnya, membawa modal yang baik saat lahir. Namun, dalam masa pertumbuhannya, seorang anak akan belajar, mulai dari interaksi dengan orang tuanya. Anak belajar baik atau buruk berdasarkan respon kedua orang tuanya. Sebagai makhluk yang baru saja memasuki kehidupan dunia, tentunya dia akan menyerap sebanyak-banyaknya referensi bagaimana cara hidup, mulai dari orang terdekatnya. Bisa jadi orang tuanya, bisa jadi saudaranya, bisa jadi perawatnya.
Akumulasi hasil interaksinya dengan yang menjadi orang tuanya akan menjadi acuan utama mereka yang kemudian akan mereka interaksikan di masa-masa yang akan datang. “Anak adalah peniru ulung” atau “Buah jatuh takkan jauh dari pohonnya”. Artinya anak adalah cerminan kita, baik atau buruknya.
Misalnya, orangtua yang menunjukkan perilaku antisosial akan menciptakan anak-anak dengan perilaku antisosial pula. Dalam jurnal JSTOR, penelitian yang bertajuk Cognitive and Parenting Pathways in the Transmission of Antisocial Behavior from Parents to Adolescents, menyimpulkan perilaku antisosial pada anak muncul dari hasil meniru perilaku orang tuanya.
Kembali ke Ibu yang tak pernah akur dengan anaknya. Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapat mengira, bahwa perilaku melawan dari anaknya itu bisa jadi karena sering melihat ibu dan ayahnya bertengkar, saling beradu argumentasi, atau sering mendapatkan perlakuan kasar dari orang tuanya. Kembali ke prinsip, “Anak cerminan orang tuanya.” Jangan harap, anak menjadi sosok yang berterima kasih atau mudah meminta maaf jika kita tidak pernah menunjukkan perilaku tersebut, mengajarkan, atau mengapresiasi perilaku tersebut.
Jika ingin anak kita baik, jagalah fitrah kebaikan yang sudah tertanam pada anak kita. Karena pada dasarnya anak itu baik, artinya semua yang anak kita lakukan, terutama di usia golden age pasti niatnya baik. Tugas kita ialah memvalidasi niat baik mereka, kemudian memperbaiki yang kurangnya. Pahami, mereka belum bisa menentukan baik atau buruk (mumayyiz). Makannya, ketentuan belajar syari’at belum berlaku bagi mereka hingga usia tujuh tahun (ketika akal berfungsi dan mulai dapat membedakan benar dan salah).
Jadi, sebelum kita menyalahkan anak atas perilaku durhakanya, mari kita muhasabah diri kita terlebih dahulu. Jangan sungkan meminta maaf jika di masa-masa yang berlalu kita pernah membentak mereka, pernah kasar pada mereka, atau mempertontonkan perilaku atau berkata kasar di hadapan mereka. Selanjutnya, mari kita perbaiki diri kita sehingga anak-anak akan meniru perilaku baik tersebut, juga bangunlah hubungan positif juga hangat dengan mereka. Ada banyak manfaat di dalamnya.
Dalam salah satu jurnal tentang perkembangan anak dari Harvard, hubungan yang aman dan stabil dengan orang dewasa — yang peduli bermanfaat pada anak-anak kecil mendapat gizi yang cukup; terlindung dari penyakit berbahaya, paparan racun, dan bahaya yang dapat menyebabkan cedera; menyediakan pemeriksaan kesehatan preventif; terlindung dari stres yang berlebihan; dan memberikan rutinitas harian yang dapat diprediksi yang menyampaikan rasa aman.
Tentu agar dapat berinteraksi dengan positif dengan anak, kita memerlukan energi yang banyak. Mendapati perilaku anak yang “menganggu”, menuntut kita menghabiskan energi untuk sabar. Namun, yakinlah kelelahan Anda akan terbayar suatu saat nanti. Sabarlah ketika mengajarkan anak kebaikan, sabarlah menjawab pertanyaan-pertanyaannya, sabarlah mendengar celoteh dan cerita-cerita sepelenya, sabarlah ketika emosi memuncak, dan terakhir … sabarlah jika semua kesabaran tersebut belum membuahkan hasil.