Nilai Plus Muslimah Bekerja di Mata Agama

Perempuan atau ibu yang bekerja adalah fenomena yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika kita cermati, saat ini semakin banyak perempuan yang menduduki jabatan di bidang politik, pemerintahan, perusahaan, ataupun yang bekerja di pabrik-pabrik serta sektor swasta dan informal seperti pedagang, pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya.

Kecenderungan itu sejalan dengan lebih terbukanya akses pendidikan bagi perempuan sehingga semakin banyak perempuan berpendidikan yang ingin mengaktualisasikan ilmunya. Selain itu, dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, perempuan bekerja juga didorong oleh tuntutan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Sebagai wanita yang telah berkeluarga dan harus mengurus anak serta suaminya, bekerja mendatangkan problematika tersendiri, seperti keharusan memenuhi tanggung jawab terhadap keluarga serta tuntutan profesionalitas di tempat kerja. Ada yang menikmati peran ganda tersebut, tetapi ada juga yang merasa kesulitan hingga akhirnya menjadi persoalan yang serius.

Pertanyaanya, bagaimana sebenarnya Islam memandang perempuan atau ibu yang bekerja? Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkan perempuan bekerja untuk mendapatkan harta. Islam membolehkan perempuan memiliki harta sendiri. Bahkan, perempuan boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah.

Allah Swt. berfirman, “…Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Q.S. An-Nisaa [4]: 32). Hanya saja, perempuan terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara) yang lain ketika ia bekerja. Artinya, perempuan tidak boleh menghalalkan segala cara dan kondisi agar bisa bekerja.

Perempuan juga tidak boleh meninggalkan kewajiban, apa pun yang dibebankan kepadanya, dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau ia sudah capek dengan rutinitas kerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengurus keluarganya. Justru, perempuan harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya (baik sebagai ibu untuk anak-anaknya maupun istri bagi suaminya) daripada bekerja. Hal ini karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah.

Dengan hukum ini, perempuan boleh bekerja dan boleh tidak. Apabila seorang muslim atau muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan yang wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya mengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab saat keluar rumah, shalat lima waktu, dan lain sebagainya.

Perlu disadari bahwa ketika Allah Swt. menyerahkan tugas pokok sebagai pengatur rumah tangga kepada kaum wanita, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik. Sebab, terlaksana dengan baiknya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi Islam serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya. Sebaliknya, bila tugas pokok bagi kaum perempuan ini tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi Islam dan kacaunya kehidupan keluarga.

Nah, seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ini berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan perempuan; seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syari, wajib mengasuh bayinya, serta menyusui bayi sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya. Ada pula aturan yang berupa keringanan bagi perempuan untuk melaksanakan kewajiban lain; seperti tidak wajib shalat selama waktu haid dan nifas, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan ketika haid, hamil, nifas, dan menyusui.

Ketentuan syari tersebut ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain seperti nafkah dari suami atau wali). Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerja sama antara pria dan wanita dalam menjalani perannya masing-masing, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian, tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya di tempat kerja. Semua itu bergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan atau bahkan masalah lebih disebabkan oleh tidak adanya penetapan prioritas tersebut.

Terkait dengan pembagian peran dalam keluarga, menurut ajaran Islam, keharusan memberi nafkah merupakan tanggung jawab utama suami. Dengan kata lain, istri mempunyai hak mendapatkan sebagian harta suami untuk mencukupi semua kebutuhan dasarnya.

Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya sama dengan yang diharapkan.
Kenyataannya, tidak semua suami mampu memenuhi semua kebutuhan dasar istri dan keluarganya. Dalam situasi yang sesungguhnya, istri tidak wajib mencari nafkah bagi keluarga tetapi ia berkenan melakukannya, hal tersebut tercatat sebagai sedekah yang berpahala ganda, yakni pahala sedekah dan pahala membantu keluarga (H.R. Bukhari-Muslim). Itulah nilai plus yang diberikan kepada perempuan yang berkekayaan dan berpenghasilan sendiri serta berkenan membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan tersebut, setiap perempuan yang bekerja harus memperhatikan hal-hal prinsip atau syarat utama wanita sebagai berikut.

1. Mendapatkan restu dari suami, sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadits serta sesuai dengan tata nilai adat ketimuran. Dalam kondisi tertentu, muslimah yang bekerja perlu mendapatkan restu dari semua elemen keluarga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

2. Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram) serta khalwat (bersunyi-sunyi dan menyendiri) dengan laki-laki asing. Kedua hal tersebut bisa berdampak negatif yang serius jika sampai benar-benar terjadi. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang perempuan, kecuali bila bersama laki-laki (yang merupakan) mahramnya.” (H.R. Bukhari)

3. Dilarang bagi perempuan untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram. Sabda Rasulullah Saw. “Tidaklah halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram.”

4. Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang memicu timbulnya fitnah; baik di dalam berpakaian, berhias, ataupun memakai wewangian (menggunakan parfum).

5. Terus membangun kesadaran bahwa bekerja dan berkarir adalah sarana mencapai ridha Allah. Dengan demikian, di lingkungan kerja, muslimah yang bersangkutan akan senantiasa menjaga integritas, moralitas, dedikasi, serta profesionalitas sehingga citra positifnya sebagai muslimah akan tetap terjaga.

6. Komitmen dengan akhlak islami dan hendaknya hal tersebut ditampakkan dalam keseriusannya menjaga gaya berbicara alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara.
Firman Allah Swt., “Maka, janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf (baik).” (Q.S. Al-Ahzab [33]:32)

7. Senantiasa menjaga keseimbangan diri, perasaan, pikiran, tenaga, dan waktu dalam melaksanakan peranannya sebagai ibu bagi anak-anaknya, istri bagi suaminya, dan tenaga profesional bagi lingkungan kerjanya.

8. Hendaknya, pekerjaan tersebut sesuai dengan tabiat dan kodratnya
seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit, dan lain sebagainya. [Ali]

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *