Percikan Iman – Bakhil, bukan saja berbahaya di akhirat dan lingkungan sosial kita, namun juga dapat membahayakan jiwa kita. Meski begitu, kita masih saja kadang terjebak bersikap pelit atau bakhil.
Menurut Al-Jurjani dalam Kitab At-Ta’rifat, bakhil adalah “Menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada diri dan orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau dicegah, misalnya uang, makanan, minuman, dan lain-lain”
Dalam bahasa Indonesia, bakhil biasa kita artikan dengan “pelit” atau “kikir”. kikir2/ki·kir/ a terlampau hemat memakai harta bendanya; pelit; lokek; kedekut:
Ibnu Qudamah menerangkan, “Sikap pelit dan dermawan itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan orang pelit yang paling buruk ialah seseorang yang bakhil pada dirinya sendiri yang sedang membutuhkannya.”
Berapa banyak orang bakhil yang menahan harta bendanya ketika sedang sakit dengan tidak mau mengeluarkan hartanya untuk berobat. Padahal harta itu dari Allah Swt. yang salah satu penggunaannya ialah untuk diri kita juga.
Sikap bakhil ini amat berbahaya. Sebagaimana informasi dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ » أخرجه مسلم
“Hati-hatilah kalian dari sifat bakhil sesungguhnya sifat ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Yang mendorong mereka untuk rela menumpahkan darah serta menghalalkan segala perkara yang diharamkan “. (HR. Muslim no. 2578)
Bahkan, dalam salah satu hadits, bakhil dan dermawan itu menjadi salah satu indikator keimanan. Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA, berkata, “Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَجْتَمِعُ شُحٌّ وَإِيمَانٌ فِي قَلْبِ رَجُلٍ مسلم » أخرجه أحمد
“Tidaklah mungkin akan terkumpul dalam hati seorang muslim antara keimanan dan sifat bakhil“ (HR. Ahmad No. 7480)
tak hanya sampai di situ, ternyata bakhil atau sikap kikir juga dapat berdampak negatif terhadap jiwa.
Dalam penelitiannya, tim peneliti dari Queensland University menemukan bahwa orang yang pelit rentan mengalami stres. Hal itu terlihat dari respon fisiologis ketika subjek penelitian melakukan simulasi tawar menawar. Mereka yang paling banyak menawar, terlihat lebih stres dibanding mereka yang hanya sedikit menawar.
Lantas, sebenarnya, bagaimana seseorang itu akhirnya bersikap bakhil dan bagaimana cara “mengobatinya”?
Ketika kencleng di Masjid datang, sementara kita sudah tahu keutamaan sedekah, pasti di dalam hati kita terjadi pergulatan antara dua dorongan. Di satu sisi, ada dorongan untuk bersedekah, sementara di sisi lain, dorongan untuk menahan harta. Di saat itu, bayangan ganjaran atau pahala sedekah terbayang di ufuk, begitupun bayangan “kemungkinan ‘miskin’ di masa datang pun melayang di pelupuk mata.
Dalam hitungan sepersekian detik, kita harus memutuskan antara sedekah atau tidak. Dalam Islam, kita diajarkan bahwa ‘kalau kita ingin harta kita bertambah, hendaknya kita bersedekah’. Namun, acap kali kita ‘kalah’ sehingga kita tercegah dari potensi kebaikan tersebut. Padahal dalam paradigma iman, yang pertama, itu kepastian, sementara di sisi lain adalah bisikan setan yang pasti mencegah dari kebaikan.
Pertanyaannya, apa yang terjadi dalam diri kita saat kita “menahan harta” kita atau bakhil?
Bakhil atau perilaku menahan harta merupakan salah satu symptom kecemasan berlebih. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang Psikolog Islam, Indra Kusuma, “Sikap pelit lahir dari adanya mentalitas kelangkaan. Dasarnya, hal tersebut berbasis pada rasa takut atas kekurangan sesuatu. Sehingga seakan dia kekurangan, dia seolah-olah hanya memiliki sesuatu yang terbatas”.
Berikut penjelasan lebih rincinya..
Pada saat kita berada pada persimpangan (antara bersedekah atau menahan), setan memanfaatkan celah sempit bernama “kecemasan’. Kecemasan itu ada yang wajar. Dalam psychology today, dijelaskan kecemasan itu terjadi sebagai respon alami tubuh ketika merasa terancam.
“Ketika kita merasa kurang aman (merasa terancam), tubuh kita secara otomatis, siap untuk bertahan, waspada terhadap ancaman baik nyata maupun khayalan … Pikiran kita berevolusi untuk membuat kita tetap hidup, dan kekhawatiran (kecemasan) adalah cara pikiran memberi tahu tubuh bahwa kita mungkin berada dalam bahaya, dari dalam atau dari luar”
Hanya, kecemasan itu bisa jadi berlebihan, manakala sumbernya tidak segera kita netralisir. Akibatnya, kita mengalami “gangguan kecemasan” atau “anxiety disorder”.
Salah satu bentukny ialah sikap ‘overthinking’. Menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia, Dr. Ahmad Rusdi, M.A., S.I., “gangguan kecemasan’ merupakan sebuah manifestasi rasa takut yang hiperbola pada masa yang akan datang yg belum terjadi, adanya kesempitan jiwa dan gelisah atau keluh kesah”
Ibarat demam, bakhil adalah simptom gangguan kecemasan. Jika yang memicu demam ialah ketidakmampuan imun tubuh mengatasi virus atau bakteri, maka penyebab gangguan kecemasan (anxiety) ialah ketidakmampuan diri memenej kecemasan sehingga dihinggapi oleh “virus” berupa bisikan setan.
Untuk itu, kita harus meningkatkan imunitas kita dengan cara “imunisasi jiwa” sehingga jiwa kita mengenali “virus”-nya bila masuk nanti. Kata Imam Al-Ghazali, ada dua jenis virus yang biasanya ditembakkan oleh setan dan hawa nafsu. 1) cinta harta dan takut miskin, 2) panjang angan-angan.
Maka, jika kita diserang dengan perasaan “takut miskin”, obati dengan qanaah. Menurut Muhammad bin Ali At-Tirmidzi, “Qana’ah ialah kepuasan jiwa atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya”
Dalam Qur’an, surat Al-Isra’ ayat 30 [hal. 285], Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗاِنَّهٗ كَانَ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا ࣖ
Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki dan membatasinya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
Ketika dosis qana’ah itu kita konsumsi dan mengalir dalam nadi kita, maka Ketika harta itu hilang dengan tiba-tiba, banyaklah orang yang setengah gila apabila jatuh miskin, lalu masuk rumah sakit. Namun, tidak dengan orang yang Qana’ah. Berapapun harta yang tersisa di tangan, dia tetap bersyukur (karena dia faham yang menjadi miliknya sudah ada takarannya). Begitupun ketika sebagian hartanya harus dikeluarkan, dia tidak akan merasa kekurangan.
Selanjutnya, jika “panjang angan-angan” menyerang jiwa kita, maka obatnya ialah ingat mati. Sebanyak-banyak-nya harta yang kita miliki, pada akhirnya tidak akan kita nikmati selamanya di dunia, kita membawanya dalam bentuk “manfaat” atau amal sholeh.
Dalam Qur’an, Surat Al-Munafiqun ayat 10, Allah Swt. memberi kita peringatan lewat firman-Nya,
وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ
Infakkan sebagian harta yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang menjemputmu. Lalu, ada yang menyesali, “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda kematianku sesaat saja agar aku dapat bersedekah dan menjadi orang-orang saleh.”
Lebih dari itu, kita dapat “membawa harta kita” dengan cara mengkonversinya menjadi amal sholeh, yakni memberikan hak harta sesuai kehendak-Nya, salah satunya dengan menyedekahkannya.
Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah Saw. bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ – رواه مسلم والترمذيّ وأبو داود والنسائيّ وابن حبّان عن أبي هريرة
Ketika seorang manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mau mendoakannya. (HR. Imam Muslim)
Yuk, kita bawa pulang harta kita dengan cara menyedekahkannya
____
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman Malam di Masjid Trans Studio, setiap Ahad sepanjang Bulan Desember 2023