Berbicara mengenai asuransi, kita tidak hanya akan menemukan asuransi kebakaran rumah, tetapi juga asuransi pendidikan, kesehatan, kendaraan, dan lain sebagainya. Pada zaman Rasul Saw., hal seperti ini belum ada sehingga wajar kalau kemudian pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ini terbelah menjadi dua.
Pendapat pertama, mengatakan setuju karena kita diharuskan untuk selalu mengantisipasi apa pun yang akan terjadi, baik kepada diri maupun keluarga kita. Bahkan, asuransi jiwa secara terang-terangan diperbolehkan karena ada ayat yang mengatakan,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(Q.S. An-Nisaa [4]: 9)
Inilah dalil yang digunakan oleh kelompok yang menghalalkan asuransi. Jadi, mengikuti asuransi pendidikan, kendaraan, rumah (dari bencana/musibah), dan lain-lain adalah sesuatu yang dianjurkan oleh agama supaya kita bersikap antisipatif.
Namun demikian, ada juga kelompok yang menyatakan bahwa asuransi itu haram. Hal ini karena ketidakjelasan uang yang dipakai untuk membayar klaim asuransi kepada nasabah yang mobilnya hilang atau rumahnya kebakaran. Nasabah yang bersangkutan bisa saja baru membayar premi asuransi sebesar 5 juta rupiah, tetapi kemudian mendapat penggantian dana pengobatan (misalnya) yang jumlahnya mencapai 3 sampai 4 kali lipat dari jumlah premi tersebut. Ketidakjelasan mengenai sumber uang itulah yang kemudian membuat asuransi diharamkan.
Pendapat mana yang harus kita ambil? Kedua pendapat tersebut merupakan ijtihad. Dalam ijtihad, para ulama dan ahli (hukum fiqih) mencurahkan segala pemikiran untuk menjawab persoalan-persoalan baru. Nah dalam menyikapi ijtihad, semua dikembalikan pada keyakinan kita masing-masing.
Bila kita mau mengambil pendapat yang mengatakan bahwa asuransi halal hukumnya, ya dipersilakan dan itu sah-sah saja. Namun, bila ragu dan lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan asuransi, ya jangan ikut asuransi dan mencari solusi lain untuk mengatasi risiko kebakaran rumah atau kehilangan kendaraan. Sepengetahuan saya, saat ini telah berkembang model asuransi syariah yang semoga saja dapat menjadi solusi bagi Anda yang meragukan kehalalan asuransi konvensional.
Jadi, bagi yang belum mengikuti asuransi, Anda bisa memilih asuransi syariah untuk lebih menenteramkan dari segi keyakinan. Bagi yang sudah terlanjur ikut asuransi konvensional, ya teruskan saja karena memang permasalahan ini berada di wilayah ijtihad. Kalau ijtihad yang kita ambil ternyata benar, maka nilainya adalah A; dan kalau ijtihad yang kita ambil ternyata salah, maka nilainya adalah B. Keduanya akan tetap bernilai pahala, hanya saja poinnya ada yang bernilai A dan ada pula yang bernilai B. Wallahu a’lam.