Musim Haji. Berita di surat kabar dan media elektronika saat ini dipenuhi berita seputar haji. Ya Rabb, aku salah satu yang mendamba undangan-Mu, begitu juga sahabat-sahabatku yang sedang membaca artikel ini.. Engkau Maha Tahu waktu yang terbaik bagi kami untuk berada di tanah suci-Mu. Aamiin”.
Sejenak memoriku melayang melintasi ruang waktu hingga ke 10 tahun yang lalu. Masih sangat lekat di ingatanku dan adik-adik ketika mama dan papa membagi jadwal piket kami mengantar telur ayam kampung hasil ternak sendiri ke warung-warung tetangga. Dalam satu minggu paling hanya ada sekitar 25 butir karena jumlah ayam kampung yang diternakkan papa jumlahnya juga ga banyak. Papa mama selalu berpesan, “Semoga keikhlasan kalian berjualan telur ini akan mengantarkan papa dan mama menjadi haji mabrur”.
Ah, kalau dihitung-dihitung, sangat mustahil bisa memenuhi ongkos haji dalam jangka waktu yang pendek. Satu telur dijual seharga 400 rupiah, jika satu bulan ada 100 telur, baru terkumpul 40 ribu rupiah, setahun 480 ribu rupiah, sementara ongkos haji pada saat itu sekitar 7 juta rupiah (aku ga begitu ingat). Akan butuh waktu 15 tahun untuk menggenapinya karena papa dan mama sama sekali tidak mau menabung dari hasil gaji. Idealisme mereka berkata, “uang itu tidak bisa dipastikan bersih” yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya.
Tiba-tiba ujian datang, ayam-ayam kena virus yang tak mungkin disembuhkan. Satu per satu ayam menunggu ajal. Aku dan adik-adik sedih sekali. Waktu menunggu pergi haji tidak lagi 15 tahun tapi mungkin lebih dan belum tentu usia papa dan mama bisa menjangkaunya. Aku hanya bisa berdoa dan menghibur papa kalau Allah pasti mengganti dengan yang lebih baik. Yah, papa sempat sedih untuk beberapa hari.
Subhanallah Allah tak pernah ingkar janji, tahun itu juga, papa dipercaya oleh kantornya menjadi pimpro sebuah proyek (papaku pegawai negeri biasa). Kami gembira sekali karena keinginan orang tua untuk pergi haji pasti bisa cepat terlaksana. Bukankah seorang pimpro bakal punya duit yang banyak ? Tidak harus menunggu 15 tahun. Namun, lagi-lagi aku tidak mengerti dengan idealisme papa yang “tidak ada perubahan”. Jadi pimpro atau tidak, belanjaku tetap saja seperti dulu, belanja untuk rumah tangga nyaris tidak ada peningkatan. Kalaupun ada honor dari proyek itu, hanya untuk beli makanan atau pergi ke restoran makan bareng. Kata papa, uang proyek harus dipakai sesuai anggaran, bukan untuk foya-foya karena hak papa hanya dari honor. Lebih fantastis lagi, di laporan akhir tahun ada uang yang bersisa. Semua uang itu dikembalikan ke kantor pusat! Padahal yang aku tahu tak pernah ada kejadian dana bersisa dikembalikan, biasanya dibagi untuk semua tim proyek.
Aku sempat protes (waktu itu bekal ilmuku belum cukup), begitu juga dengan semua bawahan papa di proyek, mereka menuntut bagian. Tapi, sedikitpun papa tidak bergeming. Menurut papa, proyek itu di bawah tanggungjawabnya dan beliau berhak memutuskan apapun yang dirasa baik. Aku bangga papaku punya prinsip dan idealisme yang langka dimiliki orang lain tapi di sisi lain, aku sangat kasihan karena telpon teror dari tim proyek mulai datang silih berganti.
Kekuatan satu-satunya waktu itu adalah doa, agar Allah melapangkan segala urusan. Masalah ayam-ayam yang mati dan habis jadi terlupakan untuk sesaat, dan otomatis isu pergi haji juga terkubur. Ya Rabb, ijinkan aku memuji indahnya perjalanan hidup yang Engkau rancang untuk hamba-hamba-Mu hingga di balik cobaan selalu ada kebahagiaan.
Di sore itu, datang seorang kolega papa beserta isterinya. Beliau salah seorang direksi perusahaan pemasok peralatan di proyek. Ada kekhawatiran karena teror yang lumayan heboh dan tidak biasanya beliau ke rumah, jangan-jangan beliau juga mau complain. Silaturahmi berjalan biasa-biasa saja, hangat.. layaknya dua orang sahabat lagi bertukar cerita tentang kehidupan. Akhirnya obrolan berlanjut dengan rencana beliau pergi haji. Dan tak dapat disembunyikan, wajah papa yang tegar meredup tiba-tiba (ah.. papa, jarang sekali aku melihatmu sesedih itu).
Papa akhirnya bercerita tentang tabungan haji yang masih sedikit dan ayam-ayam yang mati. Subhanalllaah tanpa diduga sama sekali, beliau menerangkan maksudnya ke rumah untuk mengajak papa dan mama berangkat haji bareng (mama dan papa diongkosin !!).
Muliakan Bapak itu dan keluarganya ya Rabb, mudahkan rezekinya. Ada beberapa alasan yang dikemukakan beliau saat itu tapi mungkin lebih baik tak ditulis di sini agar keikhlasan beliau tetap terjaga. Intinya, ini adalah hadiah dari Allah karena pengorbanan seorang hamba-Nya untuk menjaga diri dari godaan dunia (semoga). Tahun itu tahun 1993, papa dan mamaku berangkat haji atas undangan Allah, syari’atnya lewat seorang hamba yang pemurah. Mungkin karena kejujuran papaku … Wallaahu a’lam.
Lewat media ini juga, aku ingin berterimakasih kepada redaksi eramuslim yang telah banyak merubah paradigma berpikirku jadi lebih positif dalam menjalani setiap episode hidup.. Doaku juga untuk guru-guru dan sahabat-sahabat yang setia mendampingi pembelajaranku yang semakin hari semakin variatif soal-soalnya. I love u all! Sudilah semua mendoakan orang tuaku agar dipanggil dalam keadaan husnul khatimah. Selamat berjuang !!