Prinsip-prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an

Percikan Iman – Hadir sepenuh hati itu dimulai dengan mendengar sepenuh hati, selanjutnya ialah dengan berbicara sepenuh hati. Dengan sifat-Nya yang Rahman, Allah S.W.T. mengajari kita berbicara. Yang pertama, ialah berbicara yang benar.

  1. Qaulan sadiida (benar isinya – sesuai konteksnya/ caranya)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka dan khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. An-Nisa’:9) 

Sahabat, dari ayat ini, kita dapat mengambil pelajaran, jika kita perlu khawatir ketika anak kita lemah fisiknya, lemah akalnya, lemah mentalnya, lemah hartanya. Karena itu, bertaqwalah pada Allah S.W.T. dan berkatalah yang benar (qaulan sadida).

Untuk melahirkan generasi terbaik, kita memerlukan healthy home. Rumah yang sehat terbangun dengan komunikasi yang sepenuh hati, salah satunya dengan talking.  Agar dapat berbicara dengan benar, perhatikan 4 T:

  • Timing: Bisa jadi omongan kita benar, tapi waktunya di saat anak kita lelah, suami lelah sepulang kerja. 
  • Tone: Bahasa tubuh, ekspresi, intonasi
  • Technic: Kaitannya dengan karakter orang yang kita berbicara dengannya. 
  • Truth: Pastikan apa yang kita sampaikan benar. Konsisten. Daripada janji, lebih baik apa adanya.
  1. Qaulan ma’rufa (perkataan yang baik)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

Jangan kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berikan kepada mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu dan ucapkan kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa’:5)

Di ayat ini, Allah S.W.T. mengajarkan kita (sebagai wali) agar tidak menyerahkan begitu saja harta pada anak yang belum sempurna akalnya. Misal, adik kita meninggal sementara ia memiliki harta dan keponakan kita masih kita. Kemudian, sampaikan pada ponakan kita itu “perkataan yang baik”.

Perkataan yang tidak baik itu salah satunya membanding-bandingkan anak kita dengan anak lainnya, meski seumuran, meski gendernya sama. Juga membanding-bandingkan istri atau suami dengan yang lainnya meski niatnya bagus, misal untuk memotivasi istri untuk hidup sehat atau agar suami semangat bekerja. 

Sahabat, bicara sepenuh hati itu harus ma’ruf, 

  • tidak boleh toxic: pembicaraan yang memancing emosi atau manipulatif, membuat lawan bicara kesal, sakit hati, atau marah. 
  • tidak boleh agresif; bernada tinggi dan menyerang, alias ngegas . Misal ketika suami menanyakan lokasi kunci, terus ibu menjawab, “Di mana atuh!! Makannya jangan nyimpen sembarangan!!” kata ibu dengan nada tinggi. Kalau kita mendapati respon seperti itu, jangan dibalas agresif, terima saja. Berperilaku yang ma’ruf, semoga bertemu bidadari di surga. 
  • silent treatment; ada diam yang harus, yakni ketika mendengar empatik. Namun, jangan diam agar lawan bicara diam alias diam untuk membungkam.
  1. Qaulan baligha (membekas pada jiwa)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا 

Mereka itu adalah orang-orang yang sebenarnya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat. Katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (QS. An-Nisa’:63)

Sahabat, berbicara itu representasi apa yang ada di hati dan pikiran kita dan ayat ini mengajarkan kita bagaimana menyikapi orang-orang munafik. Kalau mendapati orang yang berperilaku buruk, terus sudah kita coba perbaiki, namun tetap pada perilaku buruknya, berpaling saja. Ketika menyampaikan nasihat, sampaikan perkataan yang membekas. 

Diam itu “emas” ketika kita sedang sulit mengendalikan emosi, ketika kita yakin omongan kita akan melukai, ketika omongan kita menghancurkan persaudaraan, ketika tanpa fakta dan data, ketika kemungkinan akan disalahartikan (ngomong apapun menjadi salah), dan pahami situasi (misal kita baru masuk pada suatu organisasi, di

  1. Qaulan layyina (ucapan lemah lembut)

Dalam surat Thaha 42-44,  Allah S.W.T.:

اِذْهَبْ اَنْتَ وَاَخُوْكَ بِاٰيٰتِيْ وَلَا تَنِيَا فِيْ ذِكْرِيْۚ 

Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda kekuasaan-Ku dan janganlah kamu berdua lalai mengingat- Ku;

اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ 

pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun karena ia benar-benar telah melampaui batas;

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى 

berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia sadar atau takut.

Pada ayat ini, kita dapat belajar, dalam menghadapi orang se-dzolim Fir’aun saja, Allah S.W.T. memerintahkan Nabi Musa A.S. berkata dengan (ucapan yang) lemah-lembut (semoga dia takut dan ingat). Jadi, jangan kasar meski berkata pada orang yang jahat sekalipun. Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana etika dalam mengkritik, bahkan dalam ayat ini levelnya pada pemerintah atau penguasa. Kita dapat dengan mudah menemukan orang yang mengkritik begitu pedas (level 10).  

Betul kita tidak boleh mengkrtik dengan pedas, lantas bagaimana cara kita menghadapi orang yang mengkirtik kita dengan pedas? Ketika kita mendapatkan kritik pedas, jangan lakukan pembelaan, dengarkan saja, lalu ambil positifnya. Misal, ibu dikritik masakannya, jangan membela diri (melawan) ambil positifnya, perbaiki diri dengan kursus memasak. 

Dalam hidup, ada masanya harus mengkritik. Namun, ada masanya kita dikritik. Ketika mengkritik, hendaknya kita lemah lembut dalam ucapan, namun ketika masanya kita dikritik, hadapi dengan arif; dengarkan (diam), ambil positifnya, kemudian perbaiki diri.

  1. Qaulan kariima (memuliakan)

Dalam surat Al-Isra’ ayat 23, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam perawatanmu, maka jangan kamu katakan “ah” kepadanya dan jangan membentaknya. Ucapkanlah perkataan yang baik kepada keduanya.

Dalam ayat ini, Allah S.W.T. sedang mengajari kita bagaimana bersikap pada orang tua. Meski orang tua dalam hal ini bertentangan dengan kebenaran, perkataan kita tetap harus “memuliakan”. Dalam konteks yang lebih luas, berbicara dengan orang yang dihormati orang lain, terutama dalam forum terbuka.   

Intinya dalam hidup kita harus hadir sepenuh hati. 


Tulisan merupakan resume materi Kajian Utama yang disampaikan oleh Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman (MPI) di Masjid Peradaban Percikan Iman Arjasari, Ahad (5 Februari 2023)

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *