Percikan Iman – Betul, munafik itu muncul di hati orang-orang yang membenci Islam, sedang sifat-sifatnya bisa menjangkiti siapapun. Salah satunya jika berkata, dia dusta. Itu sifat orang munafik yang hendaknya kita jauhi. Selain itu,sifat orang munafik juga termasuk mengobral janji tanpa niat menepatinya, juga dia berniat salah saat memegang amanah sehingga mengkhianatinya, selanjutnya, jika berselisih dia berbuat aniaya.
Menurut Ibnu Rajab, ingkar janji itu ada dua macam :
- Berjanji dan sejak awal sudah berniat untuk tidak menepatinya. Ini merupakan pengingkaran janji yang paling jahat.
- Berjanji, pada awalnya berniat untuk menepati janji tersebut, lalu di tengah jalan berbalik, lalu mengingkarinya tanpa adanya alasan yang benar.
Adapun jika dia berniat untuk memenuhi janji tersebut, tetapi karena alasan tertentu atau ada hal lainnya yang dapat dibenarkan, maka dia tidak termasuk dalam sifat tercela ini.Apalagi, jika kita lihat pendapat dari sahabat Ali Ra., bahwa janji itu sama dengan hutang yang harus dipenuhi, maka konsekuensinya kian berat, meski perawinya ada yang majhul.
العِدَةُ دَينٌ ، ويلٌ لمن وعد ثم أخلف
“Janji adalah hutang. Celakalah orang yang berjanji namun tidak menepati.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 483)
Artinya, siapapun yang sudah terlanjur menjanjikan sesuatu, maka dia akan ditagih oleh mereka yang menjanjikannya. Maka, sungguh berat perkara yang harus dihadapi oleh para pemimpin suatu negeri atau wilayah seandainya ia tak menepati janjinya karena janjinya mencakup banyak orang. Apalagi di negara besar, layaknya Indonesia yang berpenduduk hampir 270 juta orang. Maka dia akan ditagih janji oleh sebanyak orang tersebut.
Karena itu, hendaknya kita waspada dengan “janji”, cek dulu sebelum membuat janji, apakah kita benar-benar bisa menepatinya atau tidak. Cek jadwal jika terkait waktu, cek kemampuan jika itu memberi barang atau uang, cek kapasitas jika itu terkait dengan kepemimpinan. Jika pengadilan dunia bisa meloloskan Anda dari jeratan “hutang janji”, ketahuilah Allah Swt. Maha Jeli untuk mengingat segala bentuk janji meski itu sekecil dzarrah.
Jangan dulu mengatakan Insya Allah, sebelum kita mengecek kondisi diri kita. Itu karena kalimat tersebut adalah pamungkas setelah kita mengecek dan menilai diri kita sanggup memenuhinya. Insya Allah adalah kalimat keberserahan diri seorang hamba, bahwa meski kita merasa bisa, tetap ada Allah Swt Yang Maha Berkehendak, yang memiliki Hak Prerogatif Mutlak atas segala sesuatu.
Selanjutnya, orang munafik itu memiliki sifat khianat dengan amanah, bukan saja tidak memenuhi hak apa yang yang menjadi amanahnya, namun juga termasuk di dalamnya menyalahgunakan amanah. Dalam Qur’an, surat Al-Anfal ayat 27, Allah Swt berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Hai, orang-orang beriman! Jangan kamu khianati Allah dan Rasul, dan jangan kamu khianati amanat yang dipercayakan kepadamu, padahal kamu mengetahui.
Akan tiba satu masa, di mana orang khianat justru mengemban amanah, sedang orang yang amanah malah dianggap khianat saking pekatnya kabut fitnah menjelang akhir zaman. Dalam hadits, diterangkan, masa itu adalah masa di mana akhir zaman sudah dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ، وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ، وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ، وَحَتَّى يُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ وَيُخَوَّنَ الْأَمِينُ
Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga muncul perkataan keji, kebiasaan berkata keji, memutuskan kerabat, keburukan bertetangga, dan sehingga orang yang khianat diberi amanah (kepercayaan) sedangkan orang yang amanah dianggap berkhianat. [HR. Ahmad, no. 6514, dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth rahimahullah]
Imam Dzahabi rahimahullah memasukkan perbuatan khianat ke dalam dosa-dosa besar yang ke-39 di dalam kitabnya, al-Kabâir, walaupun perbuatan khianat itu juga bertingkat-tingkat dosanya. Beliau berkata, “Khianat merupakan perbuatan keji dalam segala sesuatu, tetapi sebagiannya lebih buruk dari yang lain. Orang yang berkhianat kepadamu dalam hal uang, tidak seperti orang yang berkhianat kepadamu dalam keluargamu, hartamu, dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang sangat besar.” [Al-Kabâ-ir, hlm. 149]
Ingatlah, segala apa yang Allah Swt berikan pada kita, mengandung amanah di dalamnya. Istri, anak, harta-benda, maupun jabatan. Maka, selain bersyukur dengan potensi amal yang mungkin saja kita lakukan dengan memenuhi haknya, hendaknya, kita waspada dengan potensi kemungkinan buruknya saat seseorang khianat. JIka khianat pada keluarga sendiri sudah begitu besar tuntutannya, apalagi jika terkait dengan orang banyak. Jangankan jabatan pemerintah, jika seseorang mengubah redaksi perkataan seseorang demi kepentingan atau kelompok saja sudah dikatakan khianat.
Al-Jâhizh berkata, “Khianat adalah melanggar sesuatu yang diamanahkan orang kepadanya, berupa harta, kehormatan, kemuliaan, dan mengambil milik orang yang dititipkan dan mengingkari orang yang menitipkan. Termasuk khianat juga tidak menyebarkan berita yang dianjurkan disebarkan, merubah surat-surat (tulisan-tulisan) jika dia mengurusinya dan merubahnya dari maksud-maksudnya”. [Tahdzîbul Akhlâq, hlm. 31]
Terakhir, sifat orang munafik itu suka berbuat aniaya atau fujuur jika berkelahi atau berkonflik. Yang dimaksud dengan al-fujuur di sini adalah keluar dari kebenaran secara sengaja, sehingga dia menjadikan yang benar menjadi keliru dan yang keliru menjadi benar. Ini yang membawanya kepada dusta. Dalam hadits disebutkan,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah penantang yang paling keras”.
(HR. Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)
Dalam ruang interaksi sosial, potensi konflik adalah keniscayaan. Apakah karena perbedaan atau karena singgungan; singgungan kepentingan atau memang ketidaksengajaan. Islam telah membuat rambu-rambu dalam menyikapinya. Yang paling baik ialah mereka yang meminta maaf lebih dulu. Sedangkan mereka yang terburuk adalah yang berbuat aniaya dalam konflik.
Bersinggungan antar kendaraan dalam kondisi macet misalnya. Kita dapat menemukan, ada orang-orang yang mampu segera menyadari kesalahannya, lantas meminta maaf, namun kita juga dapat menemukan orang yang meski dia yang salah, justru malah jadi pihak yang paling “nyolot”. Sifat kekanak-kanakkan yang selalu menuruti ego, mendorongnya malah mempersalahkan orang yang tak sengaja ia zalimi.
Bahkan pada beberapa kasus, dia sampai mengancam bahkan menjadikan momen tersebut untuk memeras korbannya. Mereka yang berbuat zalim, malah mereka yang menampakkan diri sebagai si paling menderita. Na’udzubillahi min dzaalik
Sahabat, ingat, sifat-sifat tersebut bisa saja mengjangkiti siapapun. Maka, hendaknya kita menyadarinya dan berwaspada jangan sampai ada di antara sifat tersebut menempel pada diri kita.
Wallahu a’lam bi shawwab
________
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman di Masjid Peradaban Percikan Iman, setiap Ahad