Ukhti Pertama: Teh Sasa, saya akhwat berusia 42 tahun yang berencana menikah. Calon suami saya adalah seorang duda yang ditinggal wafat oleh istrinya dan mempunyai tiga orang anak. Selama ini, saya adalah tulang punggung keluarga dan ketika nanti menikah, saya harus berhenti bekerja dan ikut suami tinggal di luar kota yang jaraknya cukup jauh. Hal inilah yang membuat saya ragu karena khawatir siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal saya. Kalau mundur (mengurungkan pernikahan), rasanya tidak mungkin mengingat usia saya yang tidak lagi muda. Jujur, dulu sudah ada beberapa ikhwan yang datang melamar namun selalu saya tolak dengan alasan tidak siap meninggalkan keluarga. Saat ini, saya sudah istikharah, tapi hati ini kerap berubah-ubah. Hari ini mantap, besoknya berubah lagi. Bagaimana saya harus bersikap, Teh? Sementara, persiapan jelang nikah pun harus saya sendiri yang memikirkan dari A sampai Z-nya.
Ukhti Kedua: Teh Sasa, sudah dua bulan saya taaruf dengan calon suami, dan di bulan berikutnya dia mengkhitbah. Saat khitbah, saya mendengar langsung dari ibunya jika calon saya tidak punya apa pun, selain ilmu yang bisa dia berikan. Hal itu menjadi keberatan saya sehingga saat acara khitbah berlangsung saya tidak antusias dan bahkan cuek. Sehabis khitbah, keluarga saya bertanya kepada saya mengenai maksud dari ilmu yang diutarakan di acara tersebut. Akhirnya, saya pun cerita bahwa calon saya tersebut mempunyai pekerjaan sampingannya adalah meramal. Sekarang, keluarga saya pun bingung dan keberatan untuk menikahkan kami. Teh, langkah apa yang harus saya ambil agar tidak sampai membuat tersinggung pihak keluarga pria mengingat gedung sudah di-booking dengan menggunakan dana dari pihak calon saya tersebut.
Ukhti berdua, ketika seseorang menikah, hari pernikahan adalah hari kebahagiaan mempelai dan seluruh anggota keluarga. Pernikahan menjadi salah satu momen paling istimewa dalam hidup. Oleh karena itu, harus dipersiapkan secara matang.
Namun, terkadang ada beberapa hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Perbedaan pandangan antara dua keluarga kerap membuat calon pengantin ragu. Biasanya, hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran yang beralasan. Coba dipikir ulang, apakah hal tersebut termasuk hal prinsip atau tidak.
Jangan karena telanjur menyiapkan resepsi pernikahan, lalu mengorbankan masa depan Anda seumur hidup dengan menikahi orang yang salah atau pernikahan dipenuhi rasa keraguan.
Jangan karena ingin pesta pernikahan berlangsung megah atau sayang pada uang yang sudah diinvestasikan, lalu sinyal-sinyal ketidakmantapan diabaikan.
Kehidupan setelah menikah akan berjalan bertahun-tahun. Anda dan pasangan juga butuh kesiapan membangun keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya kesamaan visi dan misi tentang ketaatan beragama, jenjang karier, jenis pekerjaan, tempat tinggal, cara membesarkan anak, kepedulian menyantuni orangtua, dan sebagainya yang berguna untuk masa depan rumah tangga dengan pasangan masing-masing.
Nah, berikut saran yang bisa saya berikan kepada ukhti berdua berkaitan dengan rasa ragu yang melanda jelang hari pernikahan. Semoga menjadi solusi.
1. Sampai detik terakhir menjelang akad nikah, berdoa dan istikharahlah. Berserah dirilah kepada Allah Swt. Disarankan untuk tetap mengukur kemantapan diri, apakah mau maju atau mundur dengan menalar situasi dan kondisi yang terjadi menjelang hari pernikahan. Hendaknya, pernikahan dapat menjadi kebaikan dan amal saleh bagi diri, agama, dunia, dan akhirat yang bersangkutan. Kalau sudah mantap, ambillah segala risikonya. Sebab, nikah adalah ujian iman, agama, serta kesabaran.
2. Siapkan mental untuk menjadi istri, ibu, mantu, dan ipar. Menikah dengan duda beranak, berarti mental mesti harus lebih siap daripada menikahi pria lajang. Berkaca pada rumah tangga Rasulullah Saw. dan para nabi lainnya, diharapkan dapat memotivasi ukhti untuk bermental sekuat Siti Hajar, Siti Asiah, Siti Aisyah, dan Siti Khadijah.
3. Lebih aman membatalkan khitbah dari sekarang, daripada nanti sesudah menikah berujung pada perceraian. Maka, mengenai ada pihak yang tersinggung dengan keputusan kita membatalkan pernikahan adalah risiko yang harus diambil. Meski membatalkan khitbah atau pernikahan bisa saja tanpa menyebut alasannya, tetapi tetap harus disampaikan dengan diplomasi yang baik. Hal tersebut bisa disampaikan oleh mediator orangtua yang berbicara langsung dengan bersikap tegas dan santun.
4. Tinjau ulang mengenai keberadaan prinsip agama atau akhlak yang berbeda. Bila ada hal prinsip agama yang dilarang atau dilanggar, jelas pernikahan tidak bisa diteruskan. Alhamdulillah bagi ukhti kedua. Wujud kasih sayang Allah Swt. kepada ukhti adalah dengan terbukanya kondisi calon sebelum hari pernikahan. Ukhti seharusnya bersyukur bisa menyelamatkan diri dari sekarang daripada sesal kemudian tidak berguna.
5. Dengarkan nasihat keluarga atau teman. Tidak sedikit keluarga atau teman yang dapat memberi saran atas permasalahan jelang nikah. Dengarkan karena mereka tentu ingin berpartisipasi dalam suksesnya pernikahan Anda. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti mereka memiliki kekuasaan penuh atas sikap dan keputusan Anda.
Jangan biarkan orang lain mengintervensi keputusan Anda hanya karena ingin menyenangkan hati mereka. Prioritaskan yang terbaik dan paling tepat untuk Anda dan keluarga besar.
6. Saat memutuskan menikah, fokus pada hal-hal yang menjadi syarat sahnya nikah. Calon pengantin hendaknya banyak berdzikir, berdoa, serta jangan gugup karena khawatir pernikahan tidak berjalan sesuai dengan rencana (serba perfeksionis) yang pada gilirannya akan membuat emosi Anda mudah tersulut.
Harus benar-benar dipahami bahwa pernikahan yang sakral adalah rangkaian proses ibadah, dari sejak pemilihan jodoh, khitbah, ijab qabul, dan resepsi. Maka, persiapkan rangkaian khutbah nikah, penghulu KUA, maskawin, saksi, dan wali nikah dengan sebaik-baiknya. Calon pengantin harus senantiasa bertawakal kepada Allah Swt. setiap saat dan selalu berdoa semoga acara berjalan dengan hikmat dan berkah. Jangan lupa pula untuk mengucap syukur kepada Allah Swt. atas dukungan doa orangtua dan handai taulan.
7. Terimalah bantuan tenaga dari orang terdekat agar Anda bisa istirahat. Jangan ragu melibatkan keluarga atau teman Anda saat merencanakan hari pernikahan. Bantuan dari mereka akan membuat perasaan semakin bahagia. Namun, tidak berarti semua kerabat bisa mengatur penyelenggaraan walimah. Kendali penuh tetap berada di tangan calon pengantin atau orangtua. Yang terpenting, hindari khalwat atau berdua-duaan dengan calon suami saat mengurus persiapan nikah. Hindari sesi foto prewedding berdua-duaan karena belum muhrim.
8. Hemat anggaran agar tidak israf, tidak mubazir, dan berlebih-lebihan. Buatlah anggaran serinci dan sehemat mungkin. Cantumkan juga biaya tak terduga untuk antisipasi. Pembuatan anggaran ini sangat penting demi mengantisipasi adanya masalah ketika hari H tiba atau menghindarkan diri dari utang. Lebih baik menikah secara sederhana daripada ada perasaan yang mengganjal karena pernikahan tidak sesuai dengan anggaran dan kebarokahan harta. Wallahu a‘lam.