Rasionalisasi Praktik Dukun

Percikan Iman – Beberapa waktu belakangan, ruang-ruang percakapan di berbagai media kita penuh dengan kata kunci Jenderal Sambo, “Pesulap Merah”, dan Gus Syamsudin. Di ruang makan, di ruang sela kegiatan, bahkan mungkin seusai shalat. Ragam respon dan pendapat kian mewarnai perbincangan, sambung-menyambung dengan berbagai tema lainnya.

Perkembangan isu terbaru, kita dapat menemukan jika pihak dukun melaporkan sang Pesulap Merah alias Marcel Radhival ke polisi. Menanggapi hal itu, Marcel menaggapinya dengan santai, seraya mengatakan kalau memang tindakan-nya merusak lapangan kerja para dukun, sejatinya para dukun itu sedang membongkar kepalsuannya.

“Kalau memang bisa santet, sok santet saya, saya modalin,” kata Marcel pada salah satu media dengan santai. “Kalau job sepi, ya pakai dong penglarisnya, kalau memanng bener, buat apa lapor ke polisi?”

Marcel lebih lanjut menjelaskan jika yang ia lakukan pada dasarnya merupakan sebentuk edukasi. Dengan penampilan yang menarik, dia berupaya mengungkap praktik dukun berkedok agama Islam sekaligus mengedukasi masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan pengobatan ala “orang pintar”, padahal penyakit tersebut perlu pendekatan medis untuk mendiagnosa dan mengobatinya.

“Yang saya bongkar itu ialah penggunaan trik untuk pengobatan, berbayar lagi. Mereka dengan mudahnya mengatakan orang yang padahal hanya sakit mag itu kena santet. Belum lagi mereka memberi tarif lebih mahal dari pada dokter, nah ini edukasi yang saya lakukan pada masyarakat.” terang Marcel.

Menurut penulis, apa yang Marcel lakukan sudah benar. Marcel melakukan dakwah dengan bahasa kaumnya, dengan penampilan yang menarik, nyentrik sesuai dengan “selera” masyarakat. Ketika orang sudah tertarik, pesan-pesan edukasi atau dakwah pun dapat lebih mudah diterima.

Metode inilah yang dulu pernah dilakukan par Wali Songo. Misal Sunan Kalijaga dengan pendekatan budayanya. Ia berpenampilan “sangat jawa”, menggunakan pewayangan sebagai media dakwah. Berkat jasanya, Islam dapat lebih mudah diterima kala itu. Dengan begitu, Islam dapat tersebar hingga saat ini kita dapat menikmati hidup dalam Islam.

Mengenai solusi permasalahan hidup, Islam sudah menyediakan solusi dalam berbagai sisi kehidupan. Untuk kesehatan, Rasulullah S.A.W. memberikan kita contoh agar kita berobat dengan jalan medis sesuai zamannya. Dulu dengan bekam, kini teknologi dan pengetahuan kian berkembang, maka sudah selayaknya kita mennggunakan pendekatan medis dalam pengobatan.

Soal kekayaan, Allah S.W.T. memerintahkan kita agar menjadi umat yang produktif. Kongkrti tak hanya wacana, bekerja keras, dan cerdas. Bahkan, menilai pekerjaan mencari nafkah sebagai ibadah, menjadikan kegiatan mencari nafkah sebagai sarana penghapus dosa.

Memang, di sisi lain, Allah S.W.T. juga mengungkap tabi’at manusia yang cenderung terburu-buru. Sebagaimana terangkum dalam surat Al-Anbiya ayat 37.

خُلِقَ الْاِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍۗ سَاُورِيْكُمْ اٰيٰتِيْ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْنِ

Manusia diciptakan bersifat tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Ku. Maka, janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya.

Sifat dasar ini-lah yang mungkin mendorong kita cenderung suka pada yang instan. Mendapati realita menjadi kaya itu sulit, “pantas” lah jika seseorang tergoda mendapatkan kekayaan yang “ajaib”. Orang terpelajar sekalipun tiba-tiba “buta akal” ketika menonton video tangan Raden Dimas dapat mengeluarkan banyak uang sekejap. Padahal, yang terjadi ialah skema ponzi.

Padahal tidak ada yang instan. Meski Rasulullah S.A.W. punya kedekatan khusus dengan Allah S.W.T., namun beliau tak lantas menggunakan previlage-nya. Hikmahnya, kita dapat mencontoh bagaimana kita selaku manusia biasa menghadapi realita hidup.

Untuk menjadi kaya, Rasulullah S.A.W. bekerja sebagai pebisnis. Untuk menjaga kesehatannya, beliau memberi contoh pada kita pola hidup sehat. Bagaimana cara makan yang cukup, bagaimana istirahat yang berkualitas, dan bagaimana beliau menjaga kebugarannya dengan berolah raga. Hasilnya, pada usia di mana rata-rata dari kita pensiun, justru beliau menjadi panglima perang. Memimpin para sahabat nan perkasa di barisan terdepan.

Di zaman Umar bin Khathab, sebagian kita mungkin sering mendengar kisah di mana beliau menegur sahabat lainnya yang kerjanya hanya duduk-duduk di masjid. Sahabat tersebut berkilah dengan mengatakan jika saudaranya yang menghidupnya. Umar justru memuji saudaranya yang bekerja yang hasilnya ia gunakan untuk ia sedekahkan pada saudaranya yang hanya “diam” di masjid.

Mungkin ajaran-ajaran tersebut belum sampai secara merata pada kita semua. Bahwa, setiap pencapaian itu ada harganya. Allah S.W.T. telah menetapkan “algoritma” yang sama, yang berlaku pada setiap manusia Muslim maupun secara keseluruhan yang bernama sunnatullah. Maka, setiap mereka yang mencintai pekerjaannya, bekerja keras, jujur, maka hasilnya pasti kesuksesan.

Siapa yang makan makanan yang sehat, dengan cara yang sehat, tidur-nya berkualitas, cukup berolah raga, pasti raga-nya relatif lebih sehat dari pada yang pola hidupnya asal-asal-an.

Namun, begitulah mekanisme pasar terjadi. Di mana ada demand, di sana ada supply. Di mana ada manusia malas, penyedia hasil instan pun hadir memberi solusi. Islam menjadi komoditas, padahal isinya tipu muslihat. Akibatnya, transaksi bukannya menghasilkan solusi, malah kian dalam masalah tergali.

Apa yang pesulap merah lakukan bagi penulis merupakan sebentuk ekspresi frustasi. Namun, terasalurkan melalui pendekatan edukasi, memberi arah pada mereka yang pucat pasi karena bingung melihat situasi. Benar-salah menjadi bias. Sementara, kemasannya nampak Islami.

Menggunakan ayat, menggugunakan shalawat, padahal hanya trik ilusif dan manipulatif.

Di celah tersebut-lah, Pesulap Merah hadir, menawarkan warna baru di kalangan “orang-orang pinter”, yang katanya hitam-putih. Ia mencoba menyadarkan masyarakat agar jangan mudah tertegun dengan “trik” yang sebenarnya, anak sekolah-an pun dapat melakukannya.

Zaman terus berubah, ilmu terus berkembang, teknologi pun kian canggih, namun pada titik tertentu, pada situasi tertentu, “insaniyah sejati” itu akan dikedepankan daripada akal. Di titik itu, kita memerlukan lampu merah. Untuk sejenak menghentikan kita, memberikan waktu pada akal untuk kembali menyala.

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *