Percikan Iman – “Ngaos ku Ustadz Aam enakeun nya, teu tunduh,” begitu kalimat yang pernah sampai ke telinga penulis dari seorang jama’ah yang baru saja pulang dari Majelis Percikan Iman.
Entah mengapa, majelis ilmu bukan sekadar menjadi sumber mata air, namun juga menjadi tempat yang bikin nyaman. Saking nyamannya, kadang sampai tak terasa, tahu-tahu sesi pemaparan dari Ustadz sudah selesai.
Namun, tidak begitu dengan di Majelis Percikan Iman atau beberapa majelis ilmu. Majelis ilmu bukan hanya menjadi tempat berjuang, namun malah menjadi sarana untuk menyegarkan jiwa.
Saking menyegarkan, dua jam terasa sebentar. Padahal, menurut hemat penulis, materi yang guru kita sampaikan di beberapa kesempatan, sebetulnya materi yang “berat”. Namun, ketika Ustadz Aam yang menyampaikan, tak terasa berat, justru mudah tercerna, bahkan juga “menyegarkan”.
Penulis sendiri heran, pembahasan-nya tentang pengorbanan, tentang rahasia alam gaib, namun nampak wajah-wajah jama’ah tetap segar hingga akhir. Selang seling antara penasaran dan tawa.
Fikriah terisi, jiwa tersegarkan. Apalagi ditambah jajan di bazar, perut pun terisi. Pulang MPI semua unsur dalam diri kita “terkenyangkan”.
Tentunya, di luar sana, ada majelis ilmu, banyak Ustadz yang Allah S.W.T. berikan kemampuan untuk menyampaikan ilmu dengan baik. Mudah dicerna dan refreshing.
Bisa jadi juga karena ada faktor cocok-cocok-an. Ada yang cocok dengan satu Ustadz, namun tidak cocok dengan yang lainnya. Ada segolongan yang cocok dengan pengemasan satu majelis ta’lim, namun tak bisa bertahan lama di tempat lainnya.
Tidak ada yang salah dengan hal itu karena setiap kita diberikan selera yang berbeda-beda. Ada banyak hal yang mempengaruhi. Latar belakang pergaulan, lingkungan keluarga, atau lingkungan tempat tinggal.
Sejatinya, majelis ilmu, sering kita mendengar dari guru kita merupakan “taman surga”. Mendatanginya membangun pemahaman, juga menghidupkan harap balasan atas perjuangan yang tak terhitung jumlahnya.
Ketika di majelis ilmu kita mendapatkan hal lainnya, itu hadiah atas pengorbanan yang sahabat lakukan.
Namun, kita tak dapat memungkiri, kesegaran yang para Assatidz bawa di majelis ilmunya menjadi faktor yang membuat kita rindu. Kita merindukan untuk kembali hadir dan merasa kehilangan ketika uzur menghalangi langkah kita.