Nabi Saw. bersabda, “Mengecap rasanya iman orang yang rela kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.” (H.R. Muslim)
(Rasa) iman adalah perasaan bahagia, tenteram, dan damai dalam kehidupan. Siapa yang tidak mendambakan perasaan itu? Orang melakukan segala cara untuk bahagia. Ada yang menempuh jalan tepat yang mengantarkannya pada kebahagiaan nyata. Tetapi, tidak sedikit yang mengambil jalan fatamorgana. Semakin banyak lagkah yang diayunkan, semakin letih dan galau, sementara kebahagiaan itu tak kunjung direguknya.
Sebagaimana saya kemukakan pada tulisan terdahulu, tingkat kenestapaan sebuah masyarakat bukanlah semata-mata karena ketiadaan harta. Betapa banyak contoh yang terpampang dalam kehidupan nyata bahwa melimpahnya harta tidaklah menjamin kebahagiaan. Sebaliknya, tidak sedikit orang berbahagia dalam keterbatasan harta.
Kehilangan rasa bahagia, rasa bermakna, dan rasa cinta telah memunculkan berbagai perilaku meyimpang dan menyakitkan bagi orang lain. Terdapat korelasi yang sangat nyata antara tindak kejahatan dan kondisi kejiwaan seseorang. Orang yang senang menyakiti orang lain biasanya adalah orang yang tidak merasakan cinta di hatinya.
Sementara itu, masyarakat materialistik mengukur tingkat kebahagian dari sisi kesejahteraan material. Nyatanya, kebahagiaan hakiki tidak kunjung mereka rasakan. Studi baru yang dipublikasikan dalam Journal of Economic Behavior & Organization meneliti 50 negara bagian di Amerika Serikt. Studi itu membuat daftar sepuluh negara teratas untuk kesejahteraan, yaitu Utah, Louisiana, Colorado, Minnesota, Wyoming, Hawaii, Arizona, Delaware, Florida, dan Nevada. Tiga dari negara-negara bagian itu juga masuk dalam sepuluh besar untuk tingkat bunuh diri dengan peringkat kelima ditempati Wyoming, Colorado di peringkat keenam, dan Utah di peringkat kesembilan. Sementara, Arizona ada di posisi ke-11 dan Florida di posisi ke-15.
“Orang yang tidak puas berada di tempat menyenangkan mungkin merasa diperlakukan kasar oleh kehidupan,” ujar Andrew Oswald dari Universitas Warwick di Inggris. Sonja Lyubomirsky, seorang profesor psikologi di University of California, Riverside, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, sepakat bahwa tinggal di sekitar orang yang rata-rata cukup puas dengan kehidupan mereka, sementara Anda tidak, bisa membuat Anda merasa lebih menyedihkan.
Sepuluh negara dengan peringkat kesejahteraan terendah adalah Kentucky, West Virginia, Pennsylvania, Indiana, Missouri, Ohio, New York, Massachusetts, Michigan, dan Rhode Island. Survei itu mewawancarai lebih dari 350.000 orang setiap tahun. Peringkat bunuh diri didasarkan pada data mortalitas yang dilaporkan oleh Biro Sensus di tahun 2008 (dikutip dari tempo.co).
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Ericsson menyatakan bahwa 36% responden menggunakan komunikasi mobile untuk mengatasi kegundahan dan mengurangi stres. (Renald Kasali, Crakcing Zone)
Di sinilah makna penting dari arahan Rasulullah Saw. sebagaimana disebutkan. Orang yang merasakan nikmatnya keimanan dalam hidup adalah orang yang rela Allah Swt. sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.
Rela Allah sebagai Rabb.
Rela Allah sebagai Tuhan adalah rasa senang dan puas dengan segala ketentuan Allah. Ada dua bentuk ketentuan Allah. Pertama ketentuan Allah yang merupakan takdir kauni atau ketentuan yang berlaku di alam semesta. Di antara keputusan semacam ini adalah yang digambarkan dalam ayat berikut.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akalnya. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu ke luar (dari kubur).” (Q.S. Ar-Ruum [30]: 20-25)
Terhadap semua ketentuan Allah yang berlaku di alam semesta seperti yang di dalam ayat-ayat itu disebut sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya, kita mau bilang apa? Mau tidak setuju? Mau melawan dan membangkang? Mau menghadirkan alam alternatif dan sistemnya?
Tidak ada yang dapat kita lakukan selian rela dan menerima. Termasuk rela dan menerima saat ketika menemukan fakta bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan dalam banyak hal. Dalam hal perasaan, dalam hal cara berpikir, atau dalam hal postur tubuh. Perempuan mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki tidak. Kita rela dan menerima dengan sebuah keyakinan, “Ya robb kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia.”
Kedua, ketentuan yang merupakan takdir syar’i. Ya, aturan-aturan Allah yang dimaksudkan mengatur perilaku manusia. Yang ini bersifat pilihan dan merupakan batu ujian bagi manusia, adakah dia rela dan menerima atau benci dan menolak terhadap aturan itu. Dan seluruh takdir kauni selalu menuntut penyikapan secara syar’i yang mewujudkan dalam perilaku. Perhatikan ayat berikut.
“Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk Menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 2)
Kematian dan kehidupan adalah takdir kauni. Manusia tidak dapat menolak atau mempercepatnya. Yang dapat dilakukan manusia adalah memikirkan cara hidup dan cara mati. Manusia bisa hidup dengan ahsanu ‘amala (amal terbaik) dan mati diridhoi Allah.
Kita rela dan menerima segala ketentuan Allah, baik yang bersifat umum, yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin, maupun yang berpijak pada perbedaan jenis kelamin. Karena perbedaan jenis kelamin adalah kehendak Sang Pencipta dan perbedaan beberapa ketentuan juga adalah kehendak-Nya.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah Menjaga (mereka)…” (Q.S. An-Nisaa [4]: 34)
Kegelisahan ideologis, seperti mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan dengan segala hak, kewajiban, dan kiprahnya juga berawal dari tidak adanya kerelaan (ridho) terhadap ketentuan-ketentuan Allah.
Umar bin Khattab mengatakan, “Segala kebaikan ada dalam kerelaan. Jika engkau bisa, relalah. Dan, jika tidak, bersabarlah.” (Bersambung)