Tak lama setelah tersiar kabar tentang terjadinya gempa bumi berkekuatan 6,3 skala Richter yang menghancurleburkan kota Bam, Iran tenggara pada hari Jumat 26 Desember 2003 pukul 5.28 waktu setempat lalu, seorang teman non muslim mengirim e-mail, mengajukan sebuah pertanyaan (mungkin maksudnya mengetes), “Kalau gempa terjadi di AS dan yang tewas orang-orang non-muslim, orang muslim akan berkata, itu bala dari Allah. Sekarang, apa sebutan bagi bencana yang menimpa kaum muslim di kota Bam, Iran?�
Sejenak saya bingung menjawab. Ya, kita kaum muslimin memang suka menghujat. Bila ada musibah menimpa orang lain yang tidak seagama atau tidak sepaham dengan kita, alih-alih menolong, kita katakan, “Itulah bala dari Allah atas kesesatan mereka.� Pernah suatu saat, terjadi musibah tanah longsor di sebuah daerah di Sumatera Barat, kampung halaman saya.
Seorang ustad di mesjid dekat rumah saya mengatakan bahwa itu adalah hukuman buat masyarakat daerah tersebut karena, setahu dia, orang-orang di sana malas sholat! Waktu itu, karena saya masih kecil, saya percaya saja perkataan ustad tersebut. Saya jadi rajin sholat karena takut tertimpa tanah longsor. Kini, kalau dipikir-pikir, jelas penalaran seperti itu tidak masuk akal. Mengapa sekarang banyak negara Eropa yang makmur, hidup sejahtera, negaranya nyaman, tidak ada banjir, gempa, dan sejenisnya? Padahal, mayoritas penduduknya tidak sholat (karena bukan muslim)? Bila memang alasan turunnya musibah adalah hanya karena tidak sholat, alangkah tidak adilnya Allah yang sering menimpakan banjir kepada penduduk Jakarta atau Bangladesh yang mayoritasnya Muslim!
Sikap suka menghujat jelas bukan sikap yang bijaksana. Ketika kita atau orang lain tertimpa musibah, yang terbaik adalah bersabar, instrospeksi, dan saling-menolong. Bencana bisa datang kapan saja, di mana saja. Penderitaan akibat bencana alam yang dialami orang muslim atau non muslim sama saja menyakitkannya. Kesedihan Fatima (30 tahun) yang ketiga anak perempuannya tewas akibat tertimpa reruntuhan rumah mereka yang diguncang gempa di kota Bam, Iran, akan sama perihnya, dengan kesedihan ibu-ibu dari tiga jenazah tak dikenal yang mengambang di permukaan air bah di kawasan Muara Karang, Penjaringan, dalam musibah banjir Jakarta tahun 2002 lalu (Kompas, 3 Februari 2002).
Ketika berita tentang gempa di kota Bam tersiar, tiba-tiba saya merasa takut. Apa jadinya bila kejadian itu menimpa saya? Menjelang tidur, terlintas ketakutan di hati saya, bagaimana kalau menjelang subuh nanti, tiba-tiba atap rumah saya runtuh? Gempa itu hanya terjadi 12 detik, apa yang bisa dilakukan dalam waktu sesingkat itu? Lari? Mustahil! Dari pintu kamar saya hingga halaman luar yang beratap langit (saya tinggal di kompleks apartemen bertingkat lima), butuh waktu minimalnya setengah menit. Padahal, saya harus mencari dulu jilbab saya, menggendong anak saya…oh, tentu surat-surat penting dan uang juga harus dipersiapkan agar gampang dibawa dalam keadaan darurat…Khayalan saya terus melebar kemana-mana…. Namun, akhirnya saya tersadar, tidak ada tempat untuk lari! Ketika kematian menjelang, kemanakah manusia akan lari? Bukankah Allah telah berfirman, Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat melambatkannya barang sesaat pun, dan tidak pula dapat menyegerakannya. (Yunus: 49) dan Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, sekalipun kamu berada dalam benteng-benteng yang tinggi lagi kukuh (An-Nisa: 78)? Akhirnya, barulah saya bisa tertidur.
Mungkin yang paling bijaksana dalam menyikapi sebuah musibah, adalah dengan menganggapnya sebagai ujian dari Allah. Ujian pertama adalah ujian kesabaran bagi yang ditimpa musibah dan ujian bagi umat Islam secara umum, untuk melihat sejauh mana rasa persaudaraan mereka, keimanan mereka, dan keikhlasan mereka dalam membantu saudara-saudara mereka, baik sesama muslim atau mereka yang non-muslim. Bila dalam gempa Bam yang menewaskan minimalnya 50.000 muslim itu, justru pertolongan yang tercepat datang dari luar negeri berasal dari negara-negara non-muslim, agaknya, kita kaum muslimin harus merasa malu. Kitapun harus merasa malu ketika membaca berita tentang sebagian korban banjir Jakarta yang kelaparan karena bantuan-bantuan makanan yang datang tidak mencukupi. Yang lebih memalukan lagi, ketika terungkap bahwa sebagian indomie bantuan mayarakat ternyata malah ditilep aparat!
Sebuah musibah juga merupakan ujian hati nurani bagi para pejabat yang berwenang agar menjalankan tugas mereka dengan lebih benar. Misalnya dalam kasus gempa di kota Bam, seharusnya pemerintah Iran sejak awal mengupayakan agar bangunan-bangunan di negara ini dibangun dengan kuat dan baik, bukan dengan batu bata sederhana seperti di kota Bam, karena Iran secara keseluruhan terletak di wilayah rawan gempa, seperti juga Jepang. Dalam banjir Jakarta tahun 2002 lalu, banyak pengamat yang menilai bahwa penyebab utama musibah besar ini adalah karena banyaknya lokasi serapan air di daerah Bogor dan di Jakarta sendiri yang telah diubah menjadi bangunan. Hal itu terjadi karena pemerintah kota telah memperjual-belikan seenaknya lokasi-lokasi strategis untuk serapan air dan mengkorup dana-dana mengolalaan tata air kota.
Terakhir, musibah adalah juga merupakan semacam test-case untuk melihat apakah seseorang bisa tersadarkan dari segala perilaku negatifnya selama ini. Ketika kita melihat musibah menimpa orang lain, kita harus segera sadar dan bersiap-siap menghadapi kematian. Kematian siap menjemput kapan saja, di saat yang tidak kita ketahui. Untuk itu, sebelum kematian menjelang, kita harus menyiapkan bekal amal sebanyak-banyaknya. Tulisan ini akan saya akhiri dengan mengutip sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. “Telah datang seorang lelaki Ansar untuk bertemu dengan Rasulullah yang sedang berkumpul dengan para sahabat beliau. Lalu lelaki itu bertanya, “Siapakah yang paling cerdik dan mulia wahai Rasulullah?’ Rasul SAW bersabda, “Secerdik-cerdik manusia ialah orang yang paling banyak mengingat kematian serta yang gigih membuat persiapan menghadapi kematian itu. Merekalah orang yang paling cerdik. Mereka meninggalkan dunia dengan kemuliaan dan menuju akhirat dengan keagungan.’ (Riwayat Ibnu Majah dan Abi al-Dunya).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Teheran, Januari 2004