Percikan Iman — Ketika teman kita datang membawa informasi, “Eh, udah tau gosip baru belum, ‘si you know who’ katanya naik jabatan lho”. Biasanya ada dua tipe jawaban di antara kita, 1) “Oia?! Masa sih?…,” (dengan wajah penasaran) atau 2) “Ogt ..” (dengan wajah datar). Kira-kira, Anda biasanya yang tipe satu atau dua?
Kalau boleh kami beri saran, sebaiknya ketika Anda di situasi tersebut, pilihlah tanggapan nomor dua. Walau penasaran, cobalah berlatih menggunakannya. Itu karena, ekspresi yang pertama, akan membawa Anda pada arus obrolan tiada berujung, bahkan berlimpah dosa, antara ghibah hingga fitnah.
Jika fitnah bisa “membunuh” tanpa melukai, kalau ghibah harusnya bikin orang resah. Mengapa? Karena mereka yang membicarakan keburukan orang akan mempersepsi buruk orang yang dibicarakannya. Setelah itu, sikap pun berubah dan cenderung menjauh. Yang di-ghibah resah, begitupun yang ber-ghibah.
Ghibah apa sih?
Simpelnya, kalau fitnah itu membicarakan buruk orang lain yang keburukannya itu tidak ada pada orang tersebut. Sedangkan ghibah itu ada. Kemudian, fitnah itu bisa terang-terangan di depan muka seseorang, bisa sembunyi-sembunyi. Sedangkan ghibah itu sudah pasti di belakang orang tersebut.
Itu lantaran “ghibah” berasal dari bahasa arab “ghaba”, “yaghibu”, “ghaiban” yang berarti ghaib atau tiada hadir. Kata ghaib yang dalam kitab Maqayis al lughah diartikan “Sesuatu yang tertutup dari pandangan”. Asal kata ini memberi pemahaman adanya unsur “ketidakhadiran seseorang” dalam ghibah, yakni orang yang menjadi objek pembicaraan.
Dalam satu hadits, Rasulullah Saw. menerangkan pada kita definisi ghibah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).
Jadi, ghibah itu membicarakan kejelekan orang lain yang orang lain tidak suka jika kita membicarakan hal itu tanpa sepengetahuannya.
Dalam kajian ilmu Psikologi, kita dapat menemukan jika memang setiap orang itu ada kecenderungan membicarakan atau membagi informasi tentang orang lain. Apalagi, jika informasi tersebut belum ada yang mengetahuinya. Baginya, “informasi adalah kekuatan”.
Kata Profesor di Western Illinois University di Departemen Penegakan Hukum dan Administrasi Peradilan (LEJA). Dia adalah pensiunan Agen Khusus, Jack Schafer Ph.D,
“Orang juga suka bergosip karena hal itu memberi mereka perasaan bahwa mereka memiliki informasi rahasia tentang orang lain, sehingga memberi mereka perasaan berkuasa”
Artinya, setiap orang, pada dasarnya memiliki bakat menjadi tukang gosip. Hanya, Islam mengajarkan kita satu batasan agar jangan sampai kita membicarakan sesuatu yang menyakiti perasaan orang lain.
Selama gosipnya membicarakan kebaikan, yang menurut kita, orang tersebut takkan keberatan kita bicarakan tentu boleh kita lakukan. Bahkan, bisa jadi berpahala karena menambah kredit orang yang kita bicarakan tersebut sehingga (misal) kredibilitas ilmunya meningkat dan kita terima. Misal, kita membicarakan karya-karya ulama, quotes ulama, nasihat seorang guru pada kita, atau perilaku sahabat kita yang dapat kita jadikan teladan.
Sedangkan membicarakan keburukan orang alias ghibah itu termasuk dosa yang hendaknya membuat kita resah. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Hujurat ayat 12, Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Hai, orang-orang beriman! Jauhilah banyak prasangka buruk. Sesungguhnya, prasangka buruk itu dosa. Jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing sebagian lain. Apakah kamu mau memakan daging saudaramu yang sudah mati? Tentu kamu jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.
Dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, (26: 169), Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudaramu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak meng-ghibahi-nya ketika ia masih dalam keadaan hidup.”
Maka, hendaknya kita waspada, menyalakan alarm kita jika menemui teman kita membicarakan seseorang. Waspadalah, jika ada teman kita yang curhat pada kita, yang curhatannya itu tidak kita kuasai ilmunya. Bisa-bisa, kita malah terjebak pada ghibah. Sebagaimana yang dikatakan salah seorang ulama kita, Buya Yahya
“Kalau kita tidak punya kapasitas menyelesaikan masalah, (lalu) kalau ada orang curhat ke kita, waspadalah! itu pertanda orang itu ngajak menggunjing”
_________
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman di Masjid Peradaban Percikan Iman, pada Ahad, 12 November 2023