Percikan Iman – Matanya sayu, napasnya terdengar agak tersengal, dengan postur tubuh agak membungkuk dengan cangkul di bahunya. Terpaan panas matahari meninggalkan warna gelap di bagian-bagian tubuhnya. Namun, guratan kerja keras itu seketika berubah menjadi cerah. Rupanya, ulah anak dan istrinya yang menjadi pasal.
Rumah, tempat diri meluruhkan lelah, mengisi ulang energi yang tuntas terkuras lelah, tempat berbagai emosi tumpah ruah, tempat mengekspresikan seutuhnya diri menjadi seindah-indahnya kisah.
Namun, kini berubah menakutkan.
“Tak ada sama sekali atap yang dapat kami jadikan tempat bernanung, kecuali langit,” ujar salah satu warga di ujung Cugenang,”tak ada yang dapat kami lakukan melainkan hanya menunggu mati.”
Tak perlu bayangkan bagaimana rasanya “belaiaan” angin malam dengan paduan gerimisnya hujan. Baju yang melekat itulah selimutnya, dekapan ibu itulah kamar bagi anak-anak kecil.
Kalimat tersebut, bagi penulis merupakan cerminan jiwa ketika tak ada lagi celah daya-upaya. Yang tersisa “hanya langit” tempat bernaung. Begitu yang dituturkan oleh salah satu inisiator distribusi kepedulian, Teh Khansa (salah seorang guru di Cugenang), meneruskan apa yang disampaikan oleh salah satu warga.
Pada gelombang dua penyaluran bantuan korban Gempa Cianjur, Jum’at (25/11), Percikan Iman bekerja sama dengan warga sekitar Cugenang, kali ini Teh Khansa yang menjadi pilihan. Dari Teh Khansa ini-lah, kami akhirnya memutuskan menyalurkan bantuan berbentuk berbeagai kebutuhan perempuan dan anak-anak. Mulai dari susu bayi, makanan ringan, diapers, hingga pembalut.
Sepanjang perjalanan menuju titik distribusi bantuan, penulis baru memahami bagaimana rupa rumah “rata tanah”. Hancur sehancur-hancurnya. Sekalinya masih berdiri, gempa susulan membuat para penghuni rumah takut memasukinya. Menghapus “kepikiran” berteduh di dalam rumah.
Tim gelombang pertama, bahkan sempat merasakan gempa susulan yang cukup hebat selama menyalurkan bantuan. Tim kesehatan yang sedang memeriksa pasien, seketika melompat dan hampir saja melupakan pasien yang kesulitan berjalan. Anggota tim lainnya, seketika membatalkan shalatnya, lantaran khawatir tertimpa bangunan.
Kondisi tersebut menyisakan pilihan berdesakkan di bawah terpal dengan dinding sekadarnya berukuran 4 x 6 meter. 11 Kepala Keluarga (KK), total 39 orang “saling menghangatkan” satu sama lain. Jangankan membayangkan posisi tidur, posisi duduk saja, hampir tak menyisakkan celah. Untuk mobilitas di dalamnya, 70 persen tubuh harus menunduk agar tak menyentuh atapnya.
Lain lagi dengan Ustadz Firda, salah satu tokoh di Desa Sukamulya, untuk keluarganya, dia membangun tenda dari beberapa lapis plastik. Plastik berwarna di bagian dalam, bagian terluarnya menggunakan plastik transparan. Beliau memilih menempatkan “rumahnya” di dekat masjid yang sayangnya turut rubuh, tunduk pada kuasa Pemiliknya.
Alhamdulillah, kepedulian sahabat Percikan Iman mengalir deras. Sebagiannya, mewujud jadi tenda yang salah satunya difungsikan sebagai masjid. Lainnya, meng-upgrade satu level tempat berteduh dan mengistirahatkan mata. Sedangkan tenda kecil kami salurkan pada para ibu yang baru saja melahirkan harapan generasi penerus yang kuat.
Untuk mengembalikan wujud “rumah” dengan kehangatan seperti sediakala, nampaknya membutuhkan lebih banyak waktu dan kepedulian. Semoga kita menjadi salah jalan kasih sayang Allah S.W.T. pada mereka. Mewujudkan kembali bangunan kokoh yang meneduhi, menyenangkan, dan menenangkan. Tentunya, dengan koneksi yang lebih kuat pada tempat kembalinya segala urusan, Allah S.W.T.
Salurkan kepedulian sahabat melalui 💳 BSI : 7001 022 727 A.n Yayasan Percikan Iman/Kemanusiaan