Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya Rasul
Seakan dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu secara bersahaja
(Taufik Ismail)
Air mata ini mengalir begitu saja. Syair itu begitu indah dan bersahaja. Aku tak sangup untuk mendengarnya sampai bait akhir. Tulus suara dan ungkapan kasih yang bening, keluar dari bibir siswi SMU itu. Syair yang dinyanyikannya membuatku hampir kehilangan kesadaran. Aku dibekap kecemasan dan goncangan hati yang menderu. Semua jamaah ikut larut dalam syair kerinduan itu. Tak ada yang sunyi. Semua bergumam. Mereka bersaksi bahwa mereka merindukan Rasulullah.
Di sampingku ada seoarang ibu yang menatap heran diriku. Seolah bertanya ada apa gerangan dengan diriku? Mengapa aku menangis? Aku memilih diam dan larut dalam resapan lagu itu. Selang dua balikan lagu tersebut, aku mendengar suara tangis begitu menyayat hati. Rintihannya pilu penuh duka. Sampai bibirnya bergetar tiada henti memanggil nama Rasulullah saw. Aku igin tahu siapa gerangan dia yang berhati pilu. Aku mengerakan kepalaku. Bergeser ke arah kanan menuju sumber suara pilu itu. Aku hampir saja terkejut. Yang menangis pilu rupanya si ibu tadi yang menatapku keheranan.
Aku menangis lagi. Tak kuasa menggumamkan syair rindu buat kanjeng Nabi. Entahlah, saat itu, semua mata jamaah di perayaan Maulid Nabi, berbinar menahan haru. Mereka larut dalam gerak bibir kerinduan. Kerinduan pada al-Musthafa.
Aku masih tak bisa menghentikan tangisku. Bunyi biola itu makinmenyayat hatiku. Gumam lagu itu membuat hatiku bergemuruh. Rasa maluku yang besar pada Rasullullah tiba-tiba muncul. Kekerdilanku di hadapannya benar-banar nyata. Aku tak kuasa. Aku rindu pada Rasulullah, tapi aku malu. Malu dengan dosaku yang teramat banyak. Malu dengan besarnya kecintaan Dia padaku. Aku benar-benar tak kuasa menahan haru. Air mata ini terus menderas. Dan aku tak ingin air mata ini berhenti. Aku benar-benar menikmati kerinduan; kerinduan disapa kanjeng nabi. Kerinduan menyapa dia.
Aku ingin pengalaman ini terus selalu hadir di setiap saatku. Di ujung syair, semua tangis meledak. Semua kepala merunduk. Semua tangan menutup muka menutup malu. Semua getar di hati tumpah dalam kerinduan pada Kanjeng Nabi. Kami diam dalam hening.
Salam bagimu ya rasulullah… Aku maerindukanmu ya Rasulullah.
Di mana gerangan ruhmu yang suci berlabuh; aku ingin memeluknya. Di mana gerangan jasadmu yang suci berbaring; aku ingin menciumnya.
Bibir ini ingin bergumam…… Salam bagimu ya Easulullah. Izinkan aku berziarah ke pusaramu yang suci. Aku ingin menangis dan menyapamu di sudut makammu yang hening. Aku ingin menatap pandumu dalam kerinduan yang syahdu. Salam bagimu ya Rasulullah. Izinkan aku bertemu denganmu, sedetik saja.
Salam bagimu ya Rasulullah… dari hambamu yang kotor dan berdebu…