Percikan Iman – Dalam lirik-lirik lagu cinta, kita akan menemukan banyak kalimat semakna yang bunyinya kurang lebih, “Lautan akan ku sebrangi, gunung kan ku daki, samudera aka ku lewati, badai-petir akan ku hadapi, hanya untuk dirimu.
Misal, dalam salah satu lirik lagu Mizta D feat. Rizal Armada “ tapi ku ‘kan selalu ada hanya untukmu / ‘kan ku berikan hanya untukmu gunung ku daki, lautpun ‘kan ku” atau dalam lagu penyanyi dangdut legendaris ‘Bang’ Haji Roma,
“Dalam aku berkelana
Tiada yang tahu ke mana ‘ku pergi
Tiada yang tahu apa yang kucari
Gunung tinggi ‘kan kudaki
Lautan kuseberangi
Aku tak perduli”
Begitulah sang pujangga menyampaikan bentuk pengorbanan yang ia janjikan pada orang yang ia sayangi. Ia rela berkorban, apapun bentuknya demi menunjukkan rasa cinta-nya.
Pujangga sering kali hanya ungkapan pemanis yang bisa jadi hambar di akhirnya layaknya permen karet. Lain halnya dengan pecinta Rabb dan umat-nya. Di awalnya bisa jadi mereka merasa pahit, namun kian “dikunyah” kian bercita rasa dan semakin mendekatkan.
Sejatinya, merekalah “penyair-penyair” dengan lirik terindah. Ungkapan cintanya mengalun mengiringi amal yang mendahuluinya.
Mereka terangkum dalam nama yang mengabadi, yang terindah di antaranya Ibrahim dan Muhammad.
Namun, kisah cinta mereka sebagaimana lautan tak bertepi-tak berhenti, bahkan mengabadi. Pasalnya, mereka menimbanya dari sumber tak berhenti, Ia Yang Maha Kuasa.
Di sini, kita akan coba menggumamkan se-kata, dua kata dari lirik mereka yang tak bertepi. Ialah mereka yang hatinya terpaut karena cinta pada ilmu, pada amal sholeh, pada orang sholeh.
Setiap se-pekan sekali, mereka mau-mau-nya, jauh-jauh, susah-susah hadir ke sini, ke Arjasari. Hampir sekitar 2.000 jumlahnya mereka yang mendatangi majelis ilmu, menatap wajah guru, bersitatap dengan orang-orang yang sholeh-ah.
Namun, rutinitas sudah seewajarnya membentuk kebiasaan.
Dengan terbiasa, kita akan ringan melangkah. Namun, kuat namun getas. Ia rentan berhenti dengan ketika tetiba rintangan menghadang. Lain cerita, ketika cinta menjadi pijakan, ritangan justru menjadi ‘bumbu’ yang menambah cita rasa.
Se-kata lirik cinta itu dapat kami temukan dalam kisah-kisah pengorbanan para jama’ah Majelis Percikan Iman. Sepagi mungkin bangun, mempersiapkan diri, mengeluarkan sejumlah harta, meninggalkan kesempatan bersantai.
Dulu, mereka hadir ke tempat yang berbeda. Bisa jadi, mereka sudah terbiasa dengan tempat tersebut. Di pusat kota, akses lebih mudah, lingkungan dan hambatannya sudah reflek mereka lalui.
Namun, kini mereka harus mendatangi tempat yang relatif jauh, medannya sulit, kadang sebagian jalannya terendam banjir. Konsekuensinya, waktu luang terhapus lebih banyak, waktu tidur bisa jadi agak terganggu, rintangan di jalan jadi baru lagi. Suasana pun berbeda.
Namun, mereka tetap mendatanginya.
Lirik cinta itu memang selalu indah apalagi, jika cinta itu kita timba dari sumber yang sama dengan para Nabi dan sholihin. Sumber semurni-murni cinta, yang melahirkan perjuangan nan mengalir, yang kemudian menderaskan pengorbanan yang mengagumkan.