Percikan Iman – Penyesalan memang adanya di akhir. Ketika orang tua masih hidup, betapa ringannya kita menunda kunjungan ke rumah orang tua. Kini mereka telah tiada, penyesalan bercampur aduk dengan kenangan yang berkelabatan di benak kita. Masihkah kita berkesempatan berbakti pada mereka?
Do’a sudah tentu, namun mungkinkah kita mengirimi mereka bekal hasil sedekah dan wakaf yang kita lakukan? Jika bisa, bagaimana caranya?
Prinsipnya, kata guru kita Ustadz Aam Amirudin, sedekah dan wakaf atas nama orang tua kita itu memungkinkan. Jalannya, dapat kita temukan dalam salah satu hadits riwayat Imam Bukhari.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي افْتَلَتَتْ نَفْسُهَا، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak, dan saya menduga jika dia berkata pasti dia bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: “Ya”.” [HR. al-Bukhari dan Muslim, lafadz al-Bukhari]
Berdasarkan hadits tersebut, kita dapat berkesimpulan, kita boleh bersedekah atau berwakaf atas nama orang tua kita. Meski begitu, ada juga pendapat jika hadits ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Namun, mari kita coba pikirkan, “Mungkinkah Imam Bukhari tidak paham Al-Qur’an?”
Jawabannya tentu, tidak mungkin Imam Bukhari tidak paham Al-Qur’an. Tak mungkin beliau mencantumkan hadits ini dalam kitab hadits shahih-nya jika bertentangan dengan ayat Al-Qur’an.
Belum lagi bila kita membaca hadits lainnya dengan kandungan yang menguatkan kebolehannya. Bahkan bukan hanya boleh, melainkan pahalanya sampai pada orang tua di alam barzakh sana.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ سَعْـدَ بْنَ عُـبَـادَةَ -أَخَا بَـنِـيْ سَاعِدَةِ- تُـوُفّـِيَتْ أُمُّـهُ وَهُـوَ غَـائِـبٌ عَنْهَا، فَـقَالَ: يَـا رَسُوْلَ اللّٰـهِ! إِنَّ أُمّـِيْ تُـوُفّـِيَتْ، وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، فَهَلْ يَنْـفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ بِـشَـيْءٍ عَنْهَا؟ قَـالَ: نَـعَمْ، قَالَ: فَـإِنّـِيْ أُشْهِـدُكَ أَنَّ حَائِـطَ الْـمِخْـرَافِ صَدَقَـةٌ عَلَـيْـهَا.
Bahwasanya Sa’ad bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan ia tidak berada bersamanya, maka ia bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebun(ku) yang berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku.”
Dari hadits ini, selain soal kemungkinannya, kita juga dapat menemukan bagaimana cara-nya. Misal, sahabat berniat wakaf melalui lembaga. Sahabat dapat mengatakan pada lembaga tersebut, “Ini saya wakafkan atas nama ibu saya”.
Namun, jika-pun sahabat tidak mengucapkan, hanya dalam hati, juga tidak apa-apa. Misal, karena sahabat wakaf dalam bentuk uang yang ditransfer. Pada tahap ini, kembali pada hadits, innamal a’maalu binniyaat: sesungguhnya nilai amal perbuatan itu tergantung niatnya”.
Pada kesempatan lain, Ustadz Aam juga pernah membahas soal bagaimana cara berbakti pada orang tua yang sudah meninggal. Ada lima amal bakti yang dapat kita lakukan, menjadi bekal bagi kedua orang tua kita di alam barzakh.
- mendo’akannya,
- meneruskan kebiasaan baiknya,
- mewujudkan cita-cita baiknya,
- bersilaturahmi dengan teman atau sahabatnya,
- dan bersedekah atas namanya,
“Nah, dalam amal sedekah atau wakaf yang penting itu nawaitunya,” terang Ustadz Aam Amirudin dalam salah satu video ‘Bedah Masalah’ “Terlepas secara administrasi dicatatkan ‘atas nama orang tua’ atau tidak, itu bukan masalah”.
Simpulannya, bersedekah atas nama orang tua kita itu boleh dan akan sampai pahalanya pada orang tua kita. Caranya, boleh dengan melafalkan ataupun tanpa melafalkan niatnya. Sesungguhnya Allah S.W.T. Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati kita.