Percikan Iman – Pukul 9.00 ialah waktu di mana Masjid Peradaban, secara bertahap, mulai penuh dengan suara dengungan bacaan ayat suci Al-Qur’an. Di saat itu-lah, para Mahasantri mulai “masuk kelas” di berbagai penjuru Masjid. Ada yang di pojok kanan depan, ada yang di belakang, ada yang di tangga, ada yang di teras Masjid.
Sementara itu, Ustadz sudah duduk di tempatnya. Ustadz Ibnu di tempat favoritnya, yakni di tempat imam Masjid. Sementara Ustadz Wifki di bagian agak belakang Masjid yang ternaungi lantai Mezanin atau kadangkala di bagian kiri Masjid. Mereka yang sudah siap dengan hafalannya, nampak ancang-ancang berjalan mendekati Ustadz.
Ketika setoran, Ustadz dan Mahasantri duduk berhadapan (head to head) atau agak menyamping. Yang menarik, Ustadz Wifki tak menolak jika ada dua Mahasantri sekaligus menyetorkan hafalannya. “Bagaimana bisa beliau menyimak bacaan kedua Mahasantri tersebut ya?” begitulah batin menulis kala melihat Ustadz Wifki dengan dua Mahasantri di hadapannya dan menyetorkan hafalannya masing-masing.
“Mungkin pada level tertentu, saking terbiasanya berinteraksi dengan Al-Qur’an, inderanya dapat dengan mudah mendeteksi kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an,” lanjut penulis mencoba menerka dan memahami apa yang terjadi.
Para Mahasantri menyetorkan hafalannya hingga pukul 11.00. Waktunya para Mahasantri melakukan qailullah. Rehat sejenak di puncak lelah karena mendayagunakan segala indera dan pikir, menyegarkan tubuh, pikiran dan mental, bersiap menyambut aktivitas nantinya.
Waktu Dhuhur tiba, Mahasantri satu persatu bangun dari tidurnya, berjalan menuju tempat wudhu. Lantas, satu persatu menuju aula utama Masjid. Yang duluan, dia yang mengumandangkan adzan. Sementara imam, default-nya giliran Ustadz yang ambil peran. Di sini-lah Ustadz Hasbi selaku imam tetap yang berperan atau bergantian dengan dua Ustadz lainnya.
Shalat Dhuhur tuntas tertunaikan, ada yang kemudian kembali pada mushhaf-nya, ada yang mengobrol, sebagian juga kadang kembali ke kamar, tak jarang juga yang ke ruang ping-pong. Mereka mengisi waktu, sementara makan siang belum tiba.
Bila terdengar suara motor Scoopy tiba, para Mahasantri tau jika Teh Atikah sudah tiba. Teh Atikah ialah salah satu kru dapur Mahasantri. Demi melihat the Atikah membawa beberapa bungkusan, Mahasantri mendekat ke meja makan yang terletak di koridor dekat tempat biasa ada bazar kala MPI.
Dua, tiga, bahkan empat centong nasi, terlihat dikeduk oleh para Mahasantri. Dari beberapa testimoni, Mahasantri banyak cocok dengan makanan yang tersaji. Sambil duduk di kursi, sebagian duduk di anak tangga, mereka makan bersama. Kalau ada sisa, beberapa Mahasantri tak sungkan meminta tambahan.
Usai makan, Mahasantri langsung mencuci piring-nya masing-masing, sekalian cuci tangan. Ketika sudah bersih, mereka menyimpannya di dekat tempat cucian atau mengembalikannya ke tempat semula.
Agenda kemudian kembali berpusat ke Aula Masjid. Saatnya sesi muroja’ah hafalan. Meski Aula Masjid menjadi tempat default, tak jarang, untuk sesi siang ini, para Ustadz mempersilahkan Mahasantri menentukan tempatnya. Kadang di meja makan, kadang di meja resepsionis, kadang di bawah pohon di dekat kandang ular. Dengan begitu, kegiatan setoran hafalan jadi sedikit berwarna.
Kegiatan berlangsung hingga waktu Ashar tiba.