Sekeluarga ke Surga (3)

Percikan Iman – Untuk menggapai surga, takwa ialah jalan yang, mau tak mau, harus kita tempuh. Jika sekeluarga kita ingin masuk surga, maka kita harus berupaya agar keluarga kita menjadi keluarga yang bertakwa; bersikap waspada di dunia, kemudian konsisten menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangannya.

Yang paling utama ialah kita harus memulainya dengan do’a pada Allah Swt. yang lafaznya termaktub dalam Qur’an, surat Al-Furqon, ayat 74,

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan, anugerahkan kepada kami pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang- orang bertakwa.

Do’a merupakan cerminan visi atau cita-cita agung kita. Maka, sampaikan “proposal” tersebut lewat do’a. Do’a ini luar biasa karena bukan saja, kita meminta diri kita yang bertakwa, melainkan “mengajak orang-orang” yang menjadi tanggung jawab kita termasuk di dalamnya. 

Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa mereka yang dimaksud dengan para pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa adalah mereka pimpinan yang diteladani dalam kebaikan.

Dijelaskan oleh Asy-Syaukani, bahwa maksud permohonan mereka dalam ayat ini adalah agar dijadikan sebagai teladan (qudwah) yang diikuti dalam kebaikan.

Setelah do’a dipanjatkan (dan seterusnya kita terus memanjatkan), selanjutnya, kita berupaya dengan segenap anggota badan, jiwa, dan qalbu kita. Beruntungnya kita menjadi Mukmin, Allah Swt. bukan sekadar menetapkan perintah dan larangan, melainkan juga dengan perangkatnya. Dalam hal membangun pribadi bertakwa, Allah Swt. menetapkan “puasa” sebagai sarananya, sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 183,


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa,

Dalam syari’at puasa, Allah Swt menanamkan hikmah yang luar biasa. Selain berdampak pada fisik kita (merasa lapar dan haus), puasa juga berfungsi “membelenggu setan”. Sebagaimana kita ketahui, setan (jin) masuk ke dalam diri kita melalui aliran darah, dan puasa bermanfaat mempersempit saluran darah.



قال صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالجُوْعِ


Rasulullah saw bersabda, “Sungguh, setan itu berjalan pada anak Adam melalui aliran darah. Oleh karena itu, hendaklah kalian mempersempit aliran darah itu dengan rasa lapar,” (HR Muttafaq alaihi)

Dari hadits tersebut, kita mendapatkan informasi bahwa puasa (dari makan-minum dan jima’) merupakan pondasi seingga kita bisa lebih mudah “menahan” dari dari berbagai perbuatan dosa lainnya. Ini penting kita pahami karena jangan sampai kita berpikir, “katanya di bulan Ramadhan, setan dibelenggu, tapi kok pelaku maksiat masih aja banyak?” seolah kita mempertanyakan kebenaran hadits Nabi Muhammad Saw.

Dalam konsep “beriman”, kita harus menanamkan dalam hati dan akal akal kita bahwa firman Allah Swt. dan Sabda Rasulullah Saw pasti benar. Kalau ada yang bertentangan, bisa jadi kita yang salah memahaminya atau kita kurang sempurna mengamalkannya. Termasuk dalam hal “keutamaan bulan Ramadhan”.

Kunci pembahasan kita, dapat kita lihat (kemabali) ayat tentang puasa (Al-Baqarah:183), di sana, Allah Swt. menggunakan diksi “لعلَّ “. Diksi tersebut mengandung makna bukan “pasti” atau “otomatis” kita akan bertakwa dengan puasa. Namun, perlu upaya lebih dari “puasa”. Dalam kaidah tafsir, ketika kata pengharapan itu disampaikan oleh Allah, sebenarnyia bermakna suatu kepastian. Artinya, kita dapat memahami bahwa balasan bagi orang yang berpuasa adalah (pasti) menjadi lebih bertakwa.

Akan tetapi timbul pertanyaan, “mengapa Allah menggunakan kata pengharapan untuk menunjukkan suatu kepastian?” Ini merupakan isyarat bahwa menjadi pribadi yang bertakwa memang balasan bagi yang berpuasa, akan tetapi tidak semua yang berpuasa dapat meraihnya, tergantung bagaimana ia menjalankan puasanya.

Karena itu, Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, mengatakan, puasa itu ada 3 tingkat; puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus.

Puasa umum adalah mencegah perut dan kemaluan daripada memenuhi keinginannya. Menahan haus dan lapar, tidak minum dan makan, serta tidak melakukan hubungan suami istri. Sebatas manahan perut dan kemaluan dari keinginannya ini termasuk dalam puasa umum yang umum dilakukan semua orang Islam

Puasa khusus adalah mencegah pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari berbuat dosa.

Contoh: Lidah ikut berpuasa dengan tidak mengucapkan kata-kata yang sia-sia, tidak mengucapkan dusta, tidak ghibah, tidak berkata keji, tidak mengumpat dan lain sebagainya 

Puasa khusus dari yang khusus adalah puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah dari selain Allah secara keseluruhan.

Contoh: hati ikut berpuasa dengan membersihkan hati dari keinginan yang hina, seperti serakah, iri, riya, berniat jahat dalam hati, berniat licik dalam hati dan lain sebagainya.

Langkah berikutnya ialah, “bina keluarga”. Pengasuhan dan pembinaan keluarga ialah niscaya karena begitulah Allah Swt memerintahkan kita. Nasib takkan berubah jika kita tidak menempuh langkah-langkahnya. Jangan harap memiliki anak sholeh kalau kita tak pernah memberinya pendidikan seoptimal yang kita mampu, kecuali “mukjizat” dari Allah Swt.

Dalam Qur’an, surat At-Tahrim ayat 6, Allah Swt. berfirman,



يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ


Hai, orang-orang beriman! Jauhkan diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar dan tegas, yang tidak durhaka kepada Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.

Sebagai orang tua, hendaknya kita menjaga lisan kita, jangan sampai keluar kalimat buruk pada anak-anak kita. Ingat, perkataan orang tua ialah do’a pada Allah. Berlatihlah agar lisan kita hanya mengucapakan yang baik dan positif pada anak kita, sedalam atau semeluap apapun emosi yang kita rasakan.

Kedua, jadilah teladan. Apa yang kita lakukan adalah “landasan utama” perilaku anak-anak kita, baik ataupun buruk. Apapun yang kita lakukan di lain kesempatan, “alat ukurnya” adalah perilaku kita. Maka, jangan berhenti belajar atau melatih diri supaya menjadi sosok yang baik. Kalau memang suatu waktu kita kedapatan salah dan ditegur anak kita, berlapang dada dan terima lah. 

Selanjutnya, lakukan pembiasaan baik pada anak. Tentu disesuaikan dengan usia-nya. Sebagaimana Rasulullah Saw. mengajari kita agar tak tergesa mendidik anak. Untuk shalat saja, Rasulullah Saw mengajurkan kita agar mengajak anak kita di usia tujuh tahun, usia di mana rerata anak-anak sudah bisa membedakan baik dan buruk alias tamyiz. Biasakan shalat, biasakan puasa, dan biasakan berbagi. 

Meski terpaksa, pembiasaan akan membuat anak-anak kita lebih ringan melaksanakannya ketika “beban syari’at” ternisbatkan pada mereka saat baligh nanti. Itu adalah pondasi awal sehingga anak kita lebih mudah masuk tahap memperbagus kualitas, termasuk di dalamnya “memaknai” ibadah.

Wallahu a’lam bi shawwab

______
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada program “Safari Dakwah Tasik-Ciamis” 28 Februari – 1 Maret 2024

Media Dakwah Percikan Iman

Media Dakwah Percikan Iman

Yayasan Percikan Iman | Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *