Teh Sasa yang baik hati. Saya Sinta, salah satu peserta sekolah pra-nikah yang teteh bertindak sebagai pembicaranya. Saya ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada teteh karena telah memberi pelajaran yang sangat berharga. Dibandingkan pertemuan-pertemuan sekolah pra-nikah sebelumnya, saya pikir tema materi teteh yang paling bagus dan komunikatif.
Satu pelajaran berharga yang saya catat dengan baik adalah bahwa dengan menempatkan (lebih tinggi) cinta kepada Sang Maha Pencipta, masalah (yang seringkali membuat saya merasa paling menderita di dunia) tidak akan berarti apa-apa. Sekali lagi, terima kasih telah berbagi pengalaman hidup. Semoga teteh mendapat balasan pahala yang berlipat-lipat sehingga dijadikan golongan yang masuk surga. Amin.
Terima kasih atas apresiasinya. Saya juga senang bisa berkenalan dengan teteh Sinta. Semoga kita selalu disayang dan dicintai oleh Allah Swt. Amin.
Pembaca MaPI, sengaja saya kutip e-mail dari salah satu anggota salah satu pelatihan yang pernah saya isi. Tentu saja, hal ini tanpa bermaksud untuk memuji diri sebab sebagus dan sebaik apa pun penilaian kepada saya, tetap yang terbaik dan terbenar adalah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan uswah atau contoh terbaik adalah Rasulullah Saw. Untuk sekadar berbagi, berikut saya kutip rangkuman materi pelatihan yang saya dan teh Sinta maksud.
Sejatinya, rumah tangga adalah tempat berseminya beberapa hal berikut ini.
1. Sakinah, mawaddah dan rahmah (Q.S. Ar-Ruum [30]: 21).
2. Mitsaqan ghalizha atau perjanjian yang agung antara suami dan istri di hadapan Allah Swt. (Q.S. An-Nisaa [4]: 21).
3. Sarana meraih pasangan dan keturunan yang menyejukkan mata hati (qurrata ‘ayun) dan melahirkan keturunan dan pemimpin yang bertakwa (Q.S. Al-Furqaan [25]: 74).
4. Hartsullakum atau ladang menyemai keeratan batin antara suami dan istri. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 223).
5. Libasullahunn atau saling menutupi kekurangan dan kehormatan masing-masing (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187).
6. Menjaga diri dan keluarga dari api neraka (Q.S. At-Tahriim [66]: 6).
7. Berbagi peran (Q.S. An-Nisaa [4]: 34).
Setiap rumah tangga berpotensi timbulnya konflik dikarenakan seribu satu sebab yang bersumber dari internal dan eksternal rumah tangga yang bersangkutan. Faktor internal misalnya sikap tidak terbuka, tidak mau berbagai suka-duka, suka berbohong, acuh pada pasangan, tidak mau membantu pasangan, bersaing dengan pasangan, mendiamkan pasangan dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eskternal adalah misalnya turut campurnya mertua, ipar dan adanya orang ketiga (wanita/pria idaman lain).
Secara lebih gamblang, berikut beberapa hal yang berpeluang memunculkan konflik dalam rumah tangga.
1. Pengelolaan keuangan yang tertutup. Masing-masing pasangan mengatur anggaran keuangan sendiri-sendiri tanpa melibatkan atau sepengetahuan pasangannya.
2. Ikut campur keluarga suami atau istri yang hanya memperumit masalah yang tengah dihadapi karena merela akan cenderung membela anggota keluarganya.
3. Tidak saling membantu menyelesaikan permasalah pasangan.
4. Tidak ada kebersamaan. Masing-masing suami atau istri sibuk dengan dunianya dan enggan melibatkan pasangan ke dalam dunianya tersebut.
5. Kurangnya waktu di rumah dengan alasan sibuk bekerja sehingga tidak ada komunikasi yang intens.
6. Pembagian tugas mengurus dan mendidik anak yang tidak merata (biasanya bapak menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada ibu).
7. Hadirnya godaan dari pihak ketiga (wanita atau pria idaman lain).
Dalam terminologi Islam, perlakuan suami atau istri yang meremehkan, menjauhi , tidak menyenangkan, tidak melaksanakn kewajiban, membenci serta mengacuhkan pasangangan disebut nusyuz.
Jika nusyuz dilakukan suami (Q.S. [4]: 128), istri dapat melakukan khulu (Q.S. [2]: 229) yaitu mengembalikan mas kawin pada suaminya atau menggugat cerai terhadap suaminya ke Pengadilan Agama setempat. Atau, bila khulu dicabut sebelum masa iddah satu kali quru (istri bersih haidh); maka diharapkan tumbuh perdamaian, perbaikan diri suami untuk menyadari dan memperbaiki diri. Bila lafaz atau ucapan istri ketika meng-khulu suami sama seperti talak suami, maka iddah-nya tiga kali quru.
Bila nusyuz dilakukan oleh istri (Q.S. [4]: 34), maka jalan keluarnya dilakukan secara bertahap; yaitu suami menasehati istri, suami tidak menggauli istri (tetapi tetap satu ranjang atau satu rumah), suami boleh memukulnya dengan kasih sayang (kalau perlu saja, tapi tidak di daerah yang berbahaya) meski Rasulullah Saw. tidak pernah memukul istrinya, syiqaq (Q.S. [4]: 35) atau melibatkan juru damai yang terdiri dari perwakilan keluarga laki-laki dan dari keluarga wanita untuk mencari perbaikan dan taufik dari Allah, talak atau proses penceraian yang diputuskan oleh suami (Q.S. [2]: 229-230).
Saya yakin, artikel ini tidak bisa mewakili dan menggambarkan forum tersebut secara utuh. Tapi, paling tidak penjelasan ini dapat memberikan skema singkat perjalanan harapan, cita dan problematika rumah tangga yang bisa saja saat ini tengah Anda hadapi. Memang, diperlukan sebuah usaha yang keras serta jalan yang berliku untuk bertemu kesejatian cinta Allah Swt. Wallahu ‘alam bishawwab.