Ihtiar menjemput Rizki atau Bekerja merupakan kewajiban hidup bagi umat Muslim. Terutama yang menjadi kepala keluarga, dikarenakan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada orang-orang yang diamanatkan kepadanya.
Betul sekali, kita wajib semangat dan dilarang malas. Karena Allah mengingatkan apa yang terjadi di bumi tetap melalui sunnatullah atau sebab akibat. Beribadah atau berdoa terus menerus sepanjang waktu tanpa ihtiar adalah juga keliru. Sabda Nabi SAW,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas” (HR. Muslim no. 2664).
Giat bekerja profesional merupakan ciri manusia beriman. Allah Swt berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15).
Bahkan giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan yang ditempuh para nabi-nabi. Sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Daud mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Sedangkan Nabi Zakariya AS bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita SAW sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah RA.
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud AS dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Jika selesai mengerjakan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia-Nya, dan perbanyaklah mengingat Allah agar engkau beruntung.” (QS Al-Jumuah [62]:10).
Islam mengajarkan umatnya bekerja keras untuk mencari nafkah, baik untuk mencukupi kebutuhan sendiri maupun keluarga. Nafkah yang halal wajib ditempuh dengan cara yang halal pula.
Sebaliknya, Islam mencela umat yang malas, yang hanya menggantungkan hidupnya pada belas kasihan orang lain.
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (Shahih: HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa-i, dan selainnya).
Mencari kayu bakar dihutan lalu menjualnya-dan pekerjaan ‘sepele’ lainnya-merupakan pekerjaan mulia dimata Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itulah Islam memberi penghargaan kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah.
“Orang-orang yang berusaha keras mengejar kesejahteraan dunia dengan cara-cara yang benar, dengan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada orang lain untuk membiayai keluarganya, dan bersikap baik kepada tetangga, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan Allah dengan wajah cemerlang seperti bulan purnama.” (HR Abu Naim).
Hadis diatas mengajarkan kita untuk mencari nafkah dengan cara halal. Seorang pedagang, misalnya, tidak menipu pembeli atau curang dalam menakar. Karyawan dan direksi sebuah perusahaan tidak korupsi atau melakukan mark-up. Hakim dan jaksa tidak ‘menjual’ perkara.
Begitupun dengan para pejabat, dari tingkat desa sampai presiden, tidak korupsi atau menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan golongannya. Betapa banyak mereka yang tergelincir karena curang dalam mencari nafkah. Banyak mantan pejabat masuk bui karena terbukti korupsi. Atau pedagang yang kehilangan pelanggan karena curang dalam menakar.
Karena itulah kita harus banyak mengingat Allah SWT saat bekerja. Jangan melanggar larangan Allah SWT dalam berbisnis. Percayalah bahwa Allah Maha Mengetahui. Dia melihat apa yang kita kerjakan.
Jadi tidak ada gunanya curang. Sebab perbuatan itu nanti akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan kaki mereka memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS Yasin [36]:65)
Semoga Allah memberi keberkahan pada usaha kita semua dalam mencari nafkah dengan amanah. Mari kita selesaikan tugas kita, dan Allah juga akan menyelesaikan tugasnya untuk kita.
Sumber : Jamaah MPI