Pernahkah Anda pergi ke pantai dan bermain pasir?
Bukan membuat aneka bentuk seperti yang sering dikerjakan bocah-bocah, tapi cuma sekadar meraup sedikit dengan kedua belah telapak tangan. Setelah butir-butir pasir itu ada dalam ‘wadah’ telapak tangan kita, remaslah, makin lama makin kuat. Apa yang terjadi?
Semakin kuat dan bersemangat kita meremasnya, semakin banyak pasir yang tumpah dari ‘wadah’ telapak tangan kita. Sampai akhirnya, tinggal tersisa sedikit pasir saja, dan kita tak punya jalan lain kecuali membuangnya.
Tapi kita coba ambil lagi pasir-pasir itu, masih dengan kedua telapak tangan sebagai wadah. Secukupnya saja. Lalu biarkan pasir-pasir itu tetap disitu. Rasakanlah dengan segenap hati, perlahan-lahan kita nerasakan pasir-pasir itu cuma bergerak di sekitar wadah bila tertiup angin. Gesekan antarpasir, atau antara tangan kita dengan pasir,
menimbulkan rasa hangat.
Lalu, ada apa sebenarnya? Adakah hubungan antara bermain pasir dalam genggaman dengan sesuatu dalam hidup kita? Pasti ada. Bukankah Allah selalu dengan bijak menuntun kita untuk dapat mengambil permisalan?
Apa yang kita lkukan ketika kita merasakan jatuh cinta? Menggenggamnya erat-erat dengan segala cara, atau membiarkannya mengikuti alur yang dituntunkan Allah? Atau kita malah membuangnya tanpa menimbang dulu?
Kadang, tanpa sadar kita menggenggamnya sangat erat. Kita begitu takut kehilangan cinta itu. Bahkan sampai-sampai kita tak memberinya ruang untuk bergerak. Maka cinta pun menjadi sempit dalam banyak arti. Cinta menjadi suatu legalitas penguasaan hidup orang lain yang kita cintai. Kita cenderung mendominasi kehidupan orang itu. Di mana pun, kebersamaan seperti menjadi satu kewajiban. Kita dan pasangan hidup kita lam-lama tak lagi bebas bergerak.
Konsep ‘kebersamaan’ yang terlalu erat malah membuat orang-orang di dalamnya sukar berkembang. Cinta menjadi stempel ‘hak milik’ seseorang, tidak boleh dibagi-bagi dengan yang lain. Bergerak sedikit menimbulkan kecemburuan. Dan orang-orang yang terlilit cemburu pun jadi tidak bebas. Hatinya selalu waswas, penuh suuzhan. Jangan-jangan suami saya ada hati dengan si X. Jangan-jangan si Y suka sama istri saya, dan sebagainya. Hidup jadi tidak tenang, inginnya menuduh dan marah saja.
Kemudian karena takut kehilangan cinta, maka kita menggenggamnya dengan cara yang salah, yang bila kemudian tak terwujud nyata, kita menjadi tidak percaya terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Maka dikarang-karanglah cara menggenggam cinta yang sepertinya melemparkan jauh-jauh kemungkinan tidak samanya ketentuan Allah dengan keinginan kita. Na’udzubillah!
Bagaimana pula cinta bisa terpelihara dengan kondisi-kondisi seperti di atas? Yang terjadi malah cinta itu menjadi kehilangan makna, usang, layu, dan bahkan mati dengan sendirinya. Cinta yang semestinya damai malah membawa resah dan amarah. Cinta makin menjadi sulit dipahami. Makin jauh untuk dicapai. Padahal itu cuma bisa dicapai dengan kedamaian batin dan ketulusan hati.
Sementara bila kita memilih membuangnya jauh-jauh tanpa menimbangnya lebih dulu, bagaimana? Memangnya kita sudah yakin betul bahwa kita tidak perlu minta petunjuk Allah, Sang Maha Pemberi Cinta, sebelum kita betul-betul mengenyahkan rasa itu? Kalau begitu, di mana kita meletakkan peran Allah dalam kehidupan kita?
Dan bersyukurlah orang-orang yang memilih membiarkan cinta itu hadir dalam hidup mereka. Kemudian membiarkannya tetap di tampat yang semestinya sepanjang masih dalam batas wajar. Kemudian membiarkan Allah menuntunnya dengan segala kasih sayang-Nya.
Percayakah Anda bahwa cinta yang demikian akan menghangatkan hati anda? Memberi rasa damai, aman dan nyaman dalam hidup Anda. Cinta yang mengantarkan Anda pada rasa syukur tak terhingga. Selanjutnya, badai demi badai seperti berlalu dengan damai. Segalanya menjadi kuat. Setertutup apapun Anda, saya percaya Anda tetap manusia normal yang butuh dicintai dan mencintai, Anda pasti menginginkan cinta seperti ini.
So, ketika datang seorang yang siap membagi rasa cintanya dengan Anda dengan cara-cara yang dituntun Allah dan rasul-Nya, mengapa ragu? Jangan buru-buru membuangnya tanpa pertimbangan atau menggenggamnya terlalu erat sehingga Anda malah terdominasi olehnya. Tapi, coba biarkan ia tetap di tempatnya, sementara Anda mohon pertimbangan pada Yang Di Atas. And life becomes sweeter than ever…