Barangkali para pembaca budiman pernah bahkan cukup sering mendengar istilah-istilah bilangan yang menunjukkan adanya pembagian agama dalam sebuah pembicaraan. Mungkin pernah mendengar kata “setengah ibadah”, “seperempat agama” atau “sepertiga agama”.
Istilah “setengah ibadah” biasanya dikaitkan dengan urusan pernikahan. Karena pernikahan memiliki ruang yang sangat luas untuk beribadah mendekatkan diri pada Allah demi mendulang pahala bagi kebaikan manusia. Istilah seperempat agama juga masih ada kaitannya dengan pernikahan dan juga bagian-bagian lain seperti hokum, politik dan social ekonomi. Sementara istilah sepertiga agama muncul terkait dengan perkara yang lebih sfesifik, bahkan cenderung lebih banyak dianggap biasa, dialah urusan niat.
Para ulama sefakat adanya tiga perkara penting yang tidak dapat terpisahkan dalam urusan agama, yaitu niat, ucapan dan tindakan. Maka dari setiap bagian tersebut pastinya menjadi sepertiga dari agama, dan niat merupakan salah satu diantaranya.
“Meski tak jarang di satu pihak orang yang malah menyepelekan perkara niat, tapi tidak sedikit juga di pihak lain yang terlalu berhati-hati dalam menyikapi niat.”
Pentingnya niat dalam urusan agama, dinyatakan dalam hadits berikut ini :عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهم عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ * متفق عليه
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. ( Hr. Bukhary Muslim )
Hadits ini memang muncul seiring tersiar kabar bahwa ada seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.
Meski begitu, umumnya para ulama menyimpan hadits ini sebagai pembuka pada kitab-kitab yang ditulisnya.
Bahkan seorang ulama bernama Abdurrahman bin Mahdi menganjurkan setiap penulis buku untuk memulai tulisannya dengan hadits ini. Karena diharapkan bias menjadi pengingat penulis sendiri dan pembacanya agar senantiasa meluruskan niatnya.
Kata “Innama” yang muncul pada awal redaksi ( matan ) hadits di atas, bermakna sebagai pengecualian. Artinya menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Tapi kata “innama” terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Keduanya ditentukan berdasarkan susunan kalimatnya ( siyakul kalam ).
Adapun kata “innama”dalam hadits ini menunjukkan pengecualian terbatas. Mengingat adakalanya amal dilakukan secara spontanitas namun tetap dipandang sebagai kebaikan. Misalnya, senyum, menolong orang yang tiba-tiba celaka di depan kita, dan lain sebagainya.
Karena itu, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kriteria niat kaitannya dalam beramal. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
“Setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” sebagaimana dimuat dalam hadits di atas, merupakan penegasan bahwa sah tidaknya amal bergantung pada niatnya, sebagaimana dikatakan Khathabi dan Imam Nawawi. Amal yang tidak disertai niat – padahal disefakati keharusannya – hanya berbalas apa yang ia dapatkan secara duniawi dari amal tersebut.
Bagi orang yang berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya”, barangsiapa hijrahnya bukan karena Allah, maka ia tidak akan mendapatkan sesuatu apapun dari Allah kecuali apa yang bisa ia dapatkan aspek keduniaannya.
Wallahu a’lam