Strategi Managemen Amarah

Dalam kajian ilmu komunikasi, marah adalah salah satu bentuk dari komunikasi seseorang. Ketika seseorang sedang marah, berarti dia sedang berupaya menyampaikan pesan kepada lawan bicaranya.

Bentuk penyampaiannya berbeda-beda, bergantung pada lingkungan dan kondisi social budaya yang membentuknya. Misalnya di jepang, orang sering marah saat diam karena orang-orang Jepang tidak terbiasa mengekspresikan kemarahannya.

Lain halnya dengan orang Amerika. Mereka lebih mudah mengekspresikan kemarahannya lewat tindakan atau prilaku. Sama halnya dengan Suku Batak di Tanah Air kita. Mereka lebih mudah mengekspresikan kemarahannya. Sedangkan suku Sunda, terbagi dua, sebagian ada yang terbiasa mengekspresikan kemarahannya, dan sebagian yang lain tidak terbiasa mengekspresikannya.

Menurut kacamata psikologi, marah adalah bagian dari emosi. Diantara sekian banyak emosi, marah dikategorikan sebagai marah yang negative, oleh karena itu, marah harus dikendalikan jika kemarahan tersebut dapat merugikan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Namun, tidak selamanya amarah dapat merugikan orang lain karena ada saat-saat dimana kemarahan perlu diekspresikan lewat prilaku. Sebab, adakalanya seseorang yang kita ajak bicara baru mengerti maksud yang ingin kita sampaikan ketika kita marah. Tanpa marah, orang lain malah menganggap kita main-main atau tidak serius.

Begitu juga dengan anda. Jika marah kepada istri dan anak-anak bertujuan untuk menasehati, kemarahan tersebut diperbolehkan, dengan catatan tidak melukai fisik dan psikis mereka, namun jika kemarahan tersebut karena jengkel kepada mereka, apalagi sempat melukai fisik maupun psikis mereka, marah yang seperti ini yang dilarang dalam Islam, dan kita harus berusaha mengendalikannya.

Dalam hal ini, Islam telah memberikan arahan kepada kita untuk mampu mengendalikan amarah dengan cara-cara berikut ini:

../images/mapi/mapi-11-2009.gif Pertama, membaca ta’awudz ketika marah.
Rasulullah pernah mengajarkannya kepada dua orang sahabat yang saling mencaci dengan mengatakan, “Sesungguhnya aku akan ajarkan kalian suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilanglah kemarahan kalian, yaitu bacaan A’uudzubilaahi minasysyaithaanirrajiim. “ (H.R Bukhari)

Kedua, mengubah posisi ketika marah.
Jika posisi kita saat kemarahan itu datang adalah berdiri, dianjurkan untuk duduk. Namun ketika posisi marah kita sedang duduk, dianjurkan untuk berbaring. Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian marah, sedangkan dia dalam posisi berdiri, hendakhlah dia duduk. Kalau telah reda atau hilang marahnya (maka cukup dengan duduk saja), dan jika belum reda, hendaklah dia berbaring” (H.R Abu Daud)

Ketiga, diam atau tidak berbicara,
Rasulullah saw bersabda, “Apabila diantara kalian marah, amak diamlah” (H.R Ahmad).

Keempat, berwudhulah. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api, dan api itu bia padam jika diredam dengan air, maka apabila di antara kalian marah, berwudhulah” (H.R Ahmad)

Kelima, lakukan shalat.
Jika keempat langkah tadi belum mampu meredakan amarah, ambillah langkah pamungkas, yaitu dengan melaksanakan shalat dua rakaat.

Insya Allah dengan shalat kita akan mampu meredakan amarah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw., “Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya?Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu (amarah), maka hendaklah dia bersujud (shalat)” (H.R Tirmidzi)

Itulah lima jurus untuk mengendalikan amarah. Mudah-mudahan lima jurus tersebut dapat kita amalkan setiap kali kemarahan merasuki jiwa kita.

Wallahu a’lam

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Strategi Managemen Amarah

Ustadz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa cara yang baik dan paling aman dalam menafsirkan Al Qur’an adalah :

Pertama, Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Sesungguhnya antara satu ayat dengan ayat lainnya kadang saling menjelaskan, apa yang tidak jelas pada salah satu bagiannya akan dijelaskan pada bagian lainnya. Yang kita lakukan di sini adalah merujuk kepada Pemilik Al Qur’an dalam menafsirkan maksud dan kehendak-Nya yang tertera dalam firman-Nya. Sebab Dialah yang lebih tahu apa yang Ia sampaikan dan apa yang Ia inginkan.

Kedua, jika penjelasan itu tidak dapat kita temukan dalam Al Qur’an, langkah selanjutnya adalah Menafsirkan Al Qur’an dengan Sunnah Rasulullah saw. Rasulullah saw. adalah utusan Allah yang bertugas menyampaikan wahyu kemada umat manusia. Karena itulah ia lebih mengerti maksud dan kehendak-Nya. Allah swt. telah menjamin bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya tapi selalu dengan bimbingan wahyu. Karena itu, merujuk pada tafsirnya tentu lebih utama dan lebih layak daripada yang lain. Sebagai penguat apa yang dikatakan di atas, silakan perhatikan firman-firman berikut,

“Agar kamu (Nabi Muhammad) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S. An-Nahl 16:44). “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Muhammad 47:24).

Yang dimaksud dengan mengajarkan ayat-ayatnya kepada mereka adalah menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya.

Ketiga, jika kita tidak menemukan penjelasan itu dalam sunnah Rasulullah saw., langkah selanjutnya adalah Menafsirkan Al Qur’an dengan pendapat para shahabat. Shahabat adalah umat Islam yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw. para shahabat menyaksikan proses turunnya Al Qur’an kepada Rasulullah saw., mengetahui sebab-sebab, serta berbagai situasi dan peristiwa saat Al Qur’an diturunkan. Di samping itu, merekalah generasi yang lebih memahami pelik-pelik bahasa Al Qur’an sebab Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Di atas semua itu, mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya pada seluruh kandungan dan makna Al Qur’an, serius dalam memahami dan merenungi makna-maknanya, kemudian mengamalkannya secara konsisten, sepanjang hayat mereka.

Keempat, jika kita tidak menemukan penjelasan dari para sahabat Rasulullah saw., angkah selanjutnya adalah mencari penjelasan dari para tabi’in (Menafsirkan Al Qur’an dengan penjelasan para tabi’in). Tabi’in adalah murid para shahabat. Rasulullah saw. sendiri telah menyatakan bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah generasi sahabat. Sabdanya: “Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian zaman sesudahku, kemudian zaman sesudahya lagi.” (H.R. Muslim dari Abdullah, Shahih Muslim, Fadhoilu al-Shahabat, vol.II, hal.503, Daar el-Fikr).

Itulah sebabnya, merujuk pada penjelasan dan tafsir mereka jauh lebih baik dan lebih layak dibandingkan tafsir yang lain. Bertolak dari analisa di atas, bisa kita simpulkan bahwa cara yang paling baik dalam menafsirkan Al Qur’an adalah dengan merujuk pada ayat Qur’an lagi, kalau kita tidak menemukan penjelasannya dalam ayat lain, kita rujuk pada sunah Rasul saw. Kalau dalam sunah Rasul pun kita tidak menemukan penjelasannya, kita rujuk pada pendapat para shahabat. Kalau kita tidak mendapatkan penjelasan dari mereka, maka kita merujuk pada para muridnya, yaitu para tabi’in. Dan kalau kita tidak mendapatkan penafsiran para tabi’in, maka kita diperbolehkan ber-ijtihad (mencurahkan segala potensi intelektual untuk memahaminya). Wallahu A’lam
Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *