Tentang Membaca Ushalli sebelum Shalat

Niat ketika mau shalat merupakan suatu keharusan. Jika kita akan melakukan aktivitas apapun, hendaklah ber-niat terlebih dahulu.

Umar bin Khattab r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal, tergantung pada niat….” (H.R. Bukhari dan muslim).

Para ulama, meletakkan niat sebagai rukun pertama dalam semua ibadah. Bahkan, yang menjadi pembeda antara ibadah dengan adat adalah niat. Sesuatu perbuatan biasa, tetapi kalau diniatkan untuk ibadah, maka ia berubah menjadi ibadah.

Adapun pembacaan ushalli –“Ushalli fardla zuhri…..”, “Ushalli fardla ashri…” dan seterusnya—yang diucapkan ketika mulai melakukan Shalat, tidak berdasarkan dalil. Rasulullah saw. Bila memulai shalat langsung menghadap kiblat kemudian takbiratul ihram dan tidak pernah membaca ushalli terlebih dahulu.

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda: Kunci (syarat) shalat adalah bersuci, pembukanya Takbir dan penutupnya Salam.” (HR.AS.Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah Dan Tirmidzi).

Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan dengan memaca doa iftitah, membaca a’udzubillah, membaca Fatihah pada setiap raka’at, membaca amin, membaca surat yang hapal setelah surat Al Fatihah kemudian Ruku, Sujud, Tahiyyat, dan diakhiri dengan salam.

Jadi, membaca Ushalli ketika mulai Shalat tidak ada contoh dari Rasul saw. Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”. Rasulullah adalah tauladan bagi muslim yang ingin mendapat cinta Allah. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al Ahzab 33 :21).

Bukti cinta kepada Allah adalah mengisi kehidupan dengan berbagai aktivitas yang didasari niat yang tulus ikhlas hanya untuk mengabdi kepada Allah dengan mengikuti aturan Rasulullah saw. “Katakanlah, ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali-Imran 3: 31.)

Persoalan Niat, apakah harus diucapkan atau cukup di dalam hati? Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan harus diucapkan dan banyak para ulama yang sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati alias tidak perlu diucapkan. Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu.” (H.R. Muslim).

Kesimpulannya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara-sauadara kita yang suka membaca ushalli saat mau shalat, bisa ditegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil yang menjelaskan Rasulullah saw. memulai shalatnya dengan bacaan ushalli. Namun, tentu saja setiap aktivitas yang baik harus pakai niat. Niatnya tidak perlu dilafazkan, cukup dalam hati saja. Kita harus menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam beribadah, baik ibadah vertikal maupun horisontal. Wallahu A’lam

http://photos-b.ak.fbcdn.net/photos-ak-snc1/v4408/41/48/1669316176/a1669316176_87057_4554026.jpg

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tentang Membaca Ushalli sebelum Shalat

Tayamum dikategorikan sebagai rukhsah (keringanan) yang Allah swt. berikan kepada hamba-Nya. Dikatakan keringanan, karena ia merupakan pengganti wudhu dan mandi besar.

“… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh (bercampur) dengan perempuan (isteri), lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah 5:6)

Ayat ini menegaskan, kalau kita berhadas (tidak punya wudhu) karena buang air besar, buang air kecil, melakukan hubungan seks, dll. dan kita tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka diperbolehkan bertayamum dengan tanah (debu) yang bersih.

Adapun cara bertayamum yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah dengan menepukkan kedua telapak tangan pada dinding yang diperkirakan berdebu (bisa dinding kendaraan, kamar, dll), kemudian kalau debu yang menempel pada kedua telapak tangan itu dirasakan terlalu banyak maka tiuplah, setelah itu usapkan kedua telapak tangan tersebut pada wajah kemudian pada telapak tangan (hingga pergelangan).

Itulah cara tayamum Rasulullah saw. Silakan perhatikan keterangan berikut, “Ammar r.a. berkata: saya pernah junub dan tidak mendapatkan air, lalu saya berguling-guling di tanah, kemudian shalat. Kejadian ini saya informasikan kepada Rasulullah saw. Maka Nabi saw bersabda, “Sebenarnya kamu bisa melakukan seperti ini!” Nabi menepukkan dua telapak tanyannya pada tanah (debu) lalu meniupnya, kemudian mengusapkannya pada wajah dan dua telapak tanngannya. (H.R. Bukhari dan Muslim).


*) ini gambar ilustrasi (bukan maksud sebagai petunjuk)

Kapan kita diperkenankan bertayamum? Ada sejumlah keterangan yang menjelaskan sebab-sebab diperbolehkannya bertayamum,

1.Kalau tidak ada air Kalau tidak ada air kita diperbolehkan bertayamum sebagai pengganti wudhu atau mandi besar. Atau mungkin juga kita mendapatkan air, namun tidak akan mencukupi kalau digunakan bersuci karena persediaan yang terbatas, misalnya di pesawat terbang ada air untuk bersuci, namun kalau seluruh penumpang berwudhu, maka persediann air tidak memadai, nah dalam kondisi ini kita boleh bertayamum.

Perhatikan keterangan berikut. “Umran Ibn Hushain r.a. berkata: Saya pernah bepergian dengan Rasulullah saw., lalu kami shalat berjamaah. Ketika itu ada orang yang memisahkan diri (tidak ikut shalat), Rasul bertanya, “Mengapa kamu tidak ikut shalat?” Saya junub dan tidak ada air (tidak bisa mandi), jawab orang itu. Maka Nabi bersabda, “Kamu cukup menggunakan debu untuk bersuci (bertayamumlah).” (H.R. Bukhari-Muslim)

2. Karena sakit.
Sekiranya berwudhu atau mandi besar akan semakin memperparah penyakit, kita diperkenankan bertayamum sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut. Shahabat Jabir r.a. menerangkan, kami pernah bersafar, dan salah seorang di antara kami tertimpa batu hingga terluka, lalu dia ihtilam (mimpi basah). Dia bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah saya bisa bertayammum?” Mereka menjawab, “Tidak ada rukhshah (keringanan) untuk tayamum bagi Anda karena masih mampu mandi.” Lalu orang itu mandi, dan kemudian meninggal. Ketika pulang, kami ceritakan kejadian ini kepada Rasul saw. Nabi bersabda, “Mengapa mereka menjawab seenaknya, mengapa mereka tidak bertanya? Bukankah obat tidak tahu itu bertanya! Sebenarnya orang tersebut cukup bertayamum (tidak perlu mandi), atau dia bisa membalut lukanya dan mengusap balutan itu, lalu mandi.” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, dan Daraquthni)

Memperhatikan ketarangan-keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa bertayamum merupakan keringanan yang Allah berikan kepada kita sebagai pengganti wudhu dan mandi besar. Kita diperkenankan bertayamum apabila tidak ada air atau sakit. Caranya menepukkan kedua telapak tangan ke tempat yang diperkirakan berdebu, kemudian usapkanlah ke wajah dan telapak tangan. Wallahu A’lam.

Humas PI

Humas PI

PERCIKAN IMAN ONLINE DIGITAL - Ruko Komplek Kurdi Regency 33A Jl. Inhoftank, Pelindung Hewan Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40243 Telp. 08112216667 | info@percikaniman.org

Related Post

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *