Percikan Iman – Mendengar istilah “sakit jiwa”, sebagian dari kita kemuungkinan langsung terbayang orang yang berkeliaran di pinggiran jalan dengan pakaian compang-camping. Faktanya, siapapun berpeluang mengidap penyakit jiwa atau mental. Bukan karena kurang syukur, bukan karena lemah iman, tidak juga mematikan, namun jika seseorang mentalnya terganggu, bisa-bisa dia menjadi “zombie”.
“Faktanya, sakit mental memang jarang sekali berdampak kematian, tapi secara kecatatan nomor satu di dunia. Buktinya, bapak ibu masih bisa bekerja meski divonis koleterol tinggi, bahkan kanker. Sedangkan ketika galau, mentalnya sakit, seseorang akan sulit produktif, mirip zombi setengah hidup. Produktifitas menurun hingga lebih dari 40 persen,” terang dokter Rama Giovani, Sp.KJ pada Majelis Percikan Iman edisi Ahad (23/10) di Masjid Peradaban Percikan Iman, Arjasari.
Sebegitu serius dampaknya pada kita, sayangnya banyak misinformasi mengenai kesehatan mental. Dalam konteks pengajian, banyak yang mengaitkan kesehatan mental dengan keimanan atau tingkat spiritualitas, pada keduanya hal yang berbeda.
“Ada seorang anak usia 16 tahun yang datang pada saya tanpa ditemani orang tuanya. Dia mengaku sudah memberi penjelasan pada orang tuanya agar diantar ke psikolog atau psikiater lantaran dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Orang tuanya malah mengatakan jika anaknya tersebut lebay dan malah mengatakan anaknya kurang shalat. Bukan seperti itu ya bapak ibu,” terang dokter alumni Fakultas Kedokteran Unpad ini.
Kemudian, masalah yang dapat memicu gangguan mental itu tak mesti masalah besar semisal masalah ekonomi. Ada istri yang sampai terindikasi sakit saraf karena matanya berkedut. Nyatanya, itu akibat dari akumulasi tekanan emosi pada suaminya. Pasalnya, sang suami selama puluhan tahun menikah tak mengindahkan kerapihan rumah.
“Si Ibu yang datang dengan suaminya, awalnya mengaku tak ada yang salah dengan dirinya. Namun, setelah dipancing, akhirnya dia mengaku jika dirinya kesal lataran puluhan tahun suaminya tak meletakkan pakaian kotor di tempatnya, tak pernah membantu dirinya mengangkat jemuran ketika hujan, dan asal mengambil baju dari tumpukan,” tutur dokter Rama.
Yang harus kita kuatkan ialah upaya mencegah agar jangan sampai terjadi gangguan mental. Kuncinya ialah komunikasi yang baik. Jika istri sudah tahu suaminya bukan orang yang peka, jangan “ngotot” menggunakan kode. Alih-alih mengerti, malah memicu kekesalan. Jangan gengsi mengganti gaya bicara dengan yang lebih jelas.
“Jadi, jika ada peerilaku yang tidak biasa pada orang di sekitar kita, tanyakan padanya, ‘Ada masalah apa?’ Bisa jadi, yang bersangkutan sedang mengalami masalah pada perasaannya,” terang dokter Rama.
Terakhir yang perlu kita tahu, kata dokter Rama, masalah mental itu bukan kelemahan, tapi gangguan. Artinya, siapapun bisa terkena, termasuk dokter penyakit jiwa sekalipun. Untuk itu, kita dapat menggukan konsep “self love” atau husnudhon pada diri sendiri.
Sahabat, kara dokter Rama, kesehatan mental penting untuk kita perhatikan karena dalam 30 tahun terakhir, pe-resep-an obat psikiater naik 30%. Bisa jadi karena masyarakat lebih sadar. Kedua, ternyata para pasien usianya rentang 18 – 25 tahun. Ini artinya, ayah dan ibu harus waspada karena anak-anak zaman now secara mental lebih rentan. Mereka lebih mudah stress untuk hal yang menurut kita sepele.
Kemudian, menurut Riset Kesehatan Dasar, orang yang mengalami gangguan perasaan jumlahnya sekitar 20% saat ini. Satu dari lima orang di dunia, mengalami galau.
Ketahuilah, kesehatan mental ialah kesejahteraan secara pikiran, perilaku, dan emosi. Jadi, kalau kita mengalami kisruh dalam pikiran, mudah berprasangka buruk, itu indikator ada yang salah di antara tiganya, artinya mental kita sudah mulai terganggu. Kemudian, harus memberi kontribusi positif yang maksimal. Artinya, harus produktif.
Tulisan merupakan hasil olahan dari materi yang disampaikan oleh dr. Rama Giovani, Sp.KJ. pada momen Majelis Percikan Iman (MPI) edisi 23 Oktober 2022 dengan judul “Sehat Lahir, Sehat Batin” di Masjid Peradaban Percikan Iman.