Pada dasarnya, perselisihan gara-gara berebut warisan disebabkan oleh pembagian waris tidak dijalankan dengan benar sesuai syariat Islam. Masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Akibatnya, hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan ini tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah tersebut, sebaiknya kita ikuti ketentuan berikut ini:
Pertama, ikuti hukum pembagian waris dalam Islam atau hukum lain yang merujuk pada syariat Islam karena didalamnnya terdapat aturan waris yang sangat teratur dan adil. Syariat Islam telah menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Kedua, semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan almarhum, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga almarhum sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan almarhum, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
Ketiga, hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw. “Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan.”
Keempat, wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun, penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Kelima, bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli waris. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah Saw. ketika menjawab pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqash r.a. yang pada saat itu tengah sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah Saw. pun bersabda: “… Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang.” Setelah itu, barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Quran, sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma). Dalam hal ini, pembagian dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya semisalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para ‘ashobah (kerabat almarhum yang berhak menerima sisa harta waris jika memang masuh ada sisa). Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. “…Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu…” (Q.S. An-Nisaa [4]: 12).
Sesuai ketentuan, anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Sungguh pun demikian, jika para ahli waris ingin membagi rata seluruh harta benda dan mereka saling merelakan secara tulus, maka hal itu diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Keenam, jangan memperturutkan hawa nafsu dalam rapat pembagian warisan. Memang, harta benda serta segala yang berbau duniawi kerap menyilaukan mata. Namun, tidak semestinya kita berebut harta yang ditinggalkan orangtua demi memperturutkan dorongan rakus pada keindahan duniawi.
Dengan mengikuti syariat Islam dalam menyelesaikan permasalahan yang sangat sensitif ini, kita dapat saling mengingatkan serta menjauhkan diri dari prilaku zalim, memakan harta yang bukan menjadi hak, serta mengontrol dan berhati-hati dalam usaha mendapatkan dan membelanjakan harta benda. Sebab, jika harta benda diperoleh dengan cara yang haram atau dilarang oleh ajaran Islam, maka akan menimbulkan bahaya, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, Rasulullah Saw. mengistilahkan hal itu tak ubahnya dengan memakan bara api.
Sebagai bahan renungan, tidak ada salahnya kita membaca ayat ke-29 surat An-Nisaa yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” Semoga kita semua dapat terhindar dari hal sedemikian. Amin. [Ali]