Wahai engkau yang bernama pemimpin, telah engkau manfaatkankah Ramadhan, yang baru melipat dirinya? Ataukah kau masih seperti di sebelas bulan sebelumnya: tetap menggunakan telunjukmu untuk memerintah sekaligus menudingkan kesalahan terhadap bawahan?
Bila demikian, betapa sia-sia Ramadhan yang berlalu, tanpa digunakan menjadi pembelajaran kepemimpinan seperti khalifah Umar bin Khattab yang dijuluki amirul mukminin. Semestinya, engkau pun dapat meneladani Umar, melalui pembelajaran dari Ramadhan.
Ramadhan sesungguhnya bukan sekadar bulan beribadah: memohon ampun dan mendapatkan maghfirah-Nya. Ramadhan seperti jalinan temali. Ujungnya yang satu dapat menjadi anyaman ibadah antara hamba kepada Allah. Ujung lainnya untuk mengeratkan simpulan hubungan antarmanusia. Islam menyebutnya, hablum minallah dan hablum minannas.
Dalam konteks hubungan antarmanusia, wahai para pemimpin, di situlah engkau belajar menjadi wakil Allah di muka bumi. Sebagai khalifah, suatu tingkat derajat yang dimuliakan, semestinya engkau menjadikan Ramadhan sebagai bulan pembelajaran untuk mengenal orang-orang di bawahmu.
Melalui berpuasa, tak semata mengikuti perintah agama, engkau merasakan betapa menderitanya menjadi kaum dhuafa. Sama seperti dirimu, mereka sesungguhnya memiliki hajat yang sama: bagaimana mengusir lapar dari perut. Tapi, berbeda dengan dirimu, mereka tak memiliki kemampuan untuk memiliki menu penganan bagi pengusir lapar. Hari-hari mereka adalah kelaparan. Mereka berpuasa sepanjang masa ketika engkau hanya berpuasa sebulan.
Adakah rasa lapar dan dahaga yang mencekik kerongkonganmu selama sebulan meninggalkan sisa untuk sebelas bulan ke depan sehingga enggan mengambil yang bukan hakmu? Berpuasa menjadi bulan pembelajaran bagimu untuk tidak kembali memanipulasi angka-angka pada kuitansi.
Tak sekadar memulai hidup bersih, semestinya setelah merasakan lapar dan dahaga, empati mengembang di dadamu. Empati itu menjadi landasan bagi tersemainya kepedulian sosial. Bukankah empati menyebabkanmu dapat merasakan betapa pahitnya hidup orang-orang yang tak mampu?
Dengan demikian, Ramadhan menjadi bulan pembelajaran, untuk gemar memberi. Kekuasaan yang engkau miliki menyebabkanmu menjadi sosok yang super. Superioritas itu tentu bukan untuk melindas orang-orang kecil di sekelilingmu. Superioritas itu, seperti Umar bin Khattab, digunakan untuk mengangkat kaum kecil.
Bukankah Ramadhan mengajarkanmu untuk memperbanyak sedekah, membayar zakat dan infaq? Selama sebelas bulan, agaknya, begitu banyak rezeki yang mengalir ke pundi-pundimu. Rezeki itu mungkin berasal dari pemberian kolega, bahkan, tak mustahil bawahan. Melalui pembelajaran memberi sedekah, zakat dan infaq, semestinya engkau menjadi pribadi yang memberi, bukan meminta, untuk sebelas bulan ke depan.
Ramadhan pun bulan pembelajaran untuk menjadi bawahan. Bila sebelas bulan sebelumnya, engkau terlena di singgasana, menunggu para bawahan melapor kepadamu, maka jadikanlah bulan suci ini, engkau turun ke bawah: menghampiri para bawahanmu, tak sekadar menyapa mereka, juga memahami pikiran dan perasaan mereka.
Tahukah engkau Umar bin Khattab kerap diam-diam turun ke kampung-kampung untuk mengetahui rakyatnya. Suatu ketika, ia mendapati seorang perempuan yang menjerang air di kuali, sementara anaknya meraung-raung. Umar menanyakan, mengapa anak itu mengerang. ‘Karena lapar,’ sahut sang ibu. Air yang dijerang sekadar menghibur dari rasa lapar agar sang anak tertidur.
Mengetahui hal tersebut, Umar segera mengambil sekantung terigu dan lemak. Ia sendiri yang menanak penganan tersebut. Ia juga yang menyuguhkannya kepada anak yang kelaparan itu.
Seperti Umar, telahkah engkau turun dari singgasanamu, menghampiri para bawahan dan orang kecil untuk membasuh debu di kaki mereka? Ramadhan semestinya mengajarkan padamu untuk tidak gampang menggunakan telunjuk untuk memerintah, bahkan, menudingkan kesalahanmu kepada bawahan tetapi menggunakan kesepuluh jemari tanganmu untuk menyayangi bawahan?
Maka, wahai para pemimpin, telah engkau manfaatkankah Ramadhan, sebagai bulan pembelajaran menjadi amirul mukminin? Bila engkau mampu meneladaninya, bahkan, hingga sebelas bulan ke depan masih bersisa pembelajaran itu padamu, maka engkaulah Umar bin Khattab di abad ini.