Percikan Iman –- Nifak ibarat kanker yang menggerogoti keimanan serta kepribadian seseorang, bahkan lebih jauh, bisa sampai merusak lingkungan sosialnya, mulai dari keluarga hingga masyarakat. Maka, jangan sampai diri kita terjangkit oleh penyakit tersebut. Apalagi, kanker nifak ini konsekuensinya bukan hanya di dunia, tapi terbawa hingga kehidupan kita di akhirat. Karena itu, penting untuk kita dapat menyikapinya dengan baik. Caranya, dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama, menyalakan alarm nifak
عَنْ حَنْظَلَةَ الأُسَيِّدِىِّ قَالَ – وَكَانَ مِنْ كُتَّابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – لَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ قَالَ قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا تَقُولُ قَالَ قُلْتُ نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَوَاللَّهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا. فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَمَا ذَاكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّى كَأَنَّا رَأْىَ عَيْنٍ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Hanzholah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakr berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakr pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakr pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
(HR. Muslim no. 2750).
Bercermin dari generasi terbaik terdahulu, kita dapat menemukan betapa para sahabat yang “Allah Swt meridhoi mereka, dan mereka pun ridho pada Allah Swt.” begitu takut terjangkit nifak. Sampai-sampai perilaku yang berbeda antara di hadapan Rasulullah Saw. dan di rumah pun mereka curigai sebagai perilaku nifak. Kewaspadaan ini penting sehingga kita tidak lengah terhadap diri kita sendiri, apalagi meremehkan perilaku atau sikap kita. Ingatlah, nifak itu awalnya bisa jadi kecil, namun lama-lama bisa menjadi bola salju.
Bahkan, Al Hasan Al Bashri berkata,
مَا خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ أَمَنَهُ إلِاَّ مُنَافِقٌ
“Orang yang khawatir terjatuh pada kemunafikan, itulah orang mukmin. Yang selalu merasa aman dari kemunafikan, itulah senyatanya munafik.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 491)
Sikap waspada juga perlu kita tunjukkan dalam bentuk “tidak meremehkan amal”. “Kan makruh..” jangan sampai keluar kalimat tersebut, apalagi disertai kesungguhan dari dalam hati. Ketahuilah, kata seorang sahabat pemegang rahasia Rasulullah Saw., Hudzaifah ibnul Yaman (termasuk ia-lah yang memegang nama-nama munafikin di Madinah), ia pernah ditanya, ciri-ciri orang munafik.
من المنافق قال الذي يصف الإسلام ولا يعمل به
“Siapakah munafik? Ia lantas menjawab, “Orang yang mengaku Islam, namun tidak mengamalkan ajaran Islam.”
(Hilyatul Auliya’, 1: 282).
Selain itu, ciri-ciri munafik juga terungkap dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud, beliau berkata,
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jama’ah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.”
(HR. Muslim no. 654).
Selanjutnya, selain pada aspek ibadah, para generasi terdahulu juga menyoroti aspek akhlak sebagai indikator keberadaan nifak. Ketahuilah, esensi dari munafik itu adalah “berbohong” karena mereka yang berbohong, seolah-olah lupa atau tidak menganggap Allah Swt. Maha Tahu atau bahkan Ada dan Menyaksikan semua yang kita lakukan dalam persembunyian, hingga apa yang tersirat dalam pikiran dan hati kita. Maka, pantas seorang sholeh, Asy-Sya’bi berkomentar,
مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 493)
Langkah berikutnya untuk mencegah nifak menjangkiti diri kita ialah dengan senantiasa mendawamkan amal dengan ikhlas, yakni mengharap semata-mata ridho dari Allah Swt. dan menghindarkan balasan perbuatan dari makhluk. Sebagaimana himbauan di dalam Al-Qur’an mengenai tugas seorang beriman, Allah Swt. berfirman dalam Qur’an, surat Al-Bayyinah ayat 5,
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Orang yang berpura-pura itu biasanya kurang yakin atau lupa akan keberadaan Allah Swt dengan sifat Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup dan Tidak Tidur. Pantas ia bisa berpura-pura baik di hadapan makhluk, semata-mata untuk keuntungan pribadinya. Karena itu, kita harus melawannya dengan melakukan sebaliknya. Itu soal “wajah di hati”, maka secara perbuatan nyata pun kita harus “menjauhi” nifak dengan melakukan kebalikan perilaku-perilaku nifak,
Di antaranya:
- Bersegera shalat karena orang munafik bermalas-malasan dalam shalat (Qs. An-Nisa : 142)
- Rutin bersedekah karena orang munafik bakhil (Qs. At-Taubah: 42)
- Berwali kepada ulama yang jujur karena orang munafik merujuk pada ulama fasiq (Qs. An-Nisa: 138-139)
- Banyak berdzikir karena munafik sedikit sekali mengingat Allah (Qs. An-Nisa : 142)
Selanjutnya, jika kebohongan itu menjadi sumber nifak, maka kejujuran adalah sumber penguat keimanan pada Allah Swt. Namun, acapkali, kejujuran itu rasanya “pahit”. Pahit karena bisa jadi kita harus membuka kesalahan kita yang selama ini disembunyikan. Jika kesalahan itu kita sembunyikan, maka kita akan terus berpura-pura dan berkubang dalam kebohongan, dan hanya kejujuran yang bisa menghentikannya. Ingatlah, tidak ada yang tersembunyi dari Allah Swt, maka takutlah pada-Nya, bukan pada makhluk, sebagaimana firman Allah dalam Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 70,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
Hai, orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan benar,
Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Muslim no. 2607).
Hikmahnya, studi menunjukkan bahwa orang yang berkata jujur cenderung memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang disekitarnya dan memiliki risiko yang lebih rendah untuk terkena penyakit daripada orang yang sering berbohong.
Selanjutnya, karena nifak itu bisa menular, maka penting juga bagi kita menjaga jarak dari orang yang terdapat ciri-ciri nifak pada kepribadainnya, apalagi orang tersebut adalah orang yang berpengaruh. Tidak mengikutinya, bisa jadi berat buat Anda. Karena itu, menjauhinya adalah kemestian. Sebagaimana perintah dari Allah Swt. dalam Qur’an, dalam surat Al-Munafiqun ayat 4,
وَاِذَا رَاَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ اَجْسَامُهُمْۗ وَاِنْ يَّقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْۗ كَاَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۗيَحْسَبُوْنَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْۗ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْۗ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ
Apabila kamu melihat orang-orang munafik, penampilan mereka akan mengagumkanmu. Jika mereka berkata, kamu mendengarkan tutur katanya. Seakan-akan, mereka kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka. Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari kebenaran?
Terakhir, balut dengan do’a. Bagaimanapun, nifak itu bisa masuk dalam celah terkecil di tengah interaksi kita, seperti membuat-buat alasan tidak masuk kerja atau mengutip sisa uang belanja tanpa seizin suami. Mari kita hafalkan do’a berikut ini,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ ، وَالْفُسُوقِ ، وَالشِّقَاقِ ، وَالنِّفَاقِ ، وَالسُّمْعَةِ ، وَالرِّيَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’.” Doa ini diriwayatkan oleh al-Hakim (1944) dan dishahihkan al-Albani.
Sahabat, mari kita sama-sama saling menguatkan diri kita dengan saling menasihati, saling memberi motivasi dalam rangka ketaatan pada Allah Swt. agar kita dijauhkan Allah Swt dari terjangkit nifak.
Wallahu a’lam bi shawwab
____
Tulisan ini merupakan pengembangan dari materi yang disampaikan oleh guru kita, Ustadz Aam Amiruddin pada Majelis Percikan Iman di Masjid Peradaban Percikan Iman, setiap Ahad